Ironi Pengakuan Ijazah Santri di Negara Sendiri

Pada 22 Oktober 1945, seruan Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengguncang langit Surabaya. Ribuan santri turun ke medan pertempuran, mempertahankan kemerdekaan dengan tekad dan doa. Peristiwa itu bukan hanya episode sejarah, tetapi simbol keterlibatan moral dan spiritual para santri dalam pondasi Kemerdekaan Indonesia (Suwarno, 2018). Negara mengabadikan momen itu dalam bentuk Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober, seolah ingin meneguhkan bahwa santri adalah bagian tak terpisahkan dari identitas nasional.

Namun, di balik penghargaan simbolik itu terdapat ironi yang menyakitkan. Di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan, ijazah santri dari pesantren masih sering tidak diakui secara administratif oleh sejumlah instansi pemerintahan dan lembaga formal. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa pengorbanan para santri terdahulu hanya mendapat pengakuan simbolik peringatan hari santri setiap 22 Oktober, sementara pengakuan substantif terhadap produk pendidikan santri masih dihambat oleh tembok birokrasi?

Ketimpangan Antara Jasa dan Pengakuan

Dalam pendidikan nasional, pesantren memiliki posisi unik, bukan hanya lembaga keilmuan, tetapi juga pusat pembentukan karakter bangsa (Atho’illah, 2020). Namun, hingga saat ini banyak lulusan pesantren kesulitan menyetarakan ijazahnya untuk keperluan kerja atau studi lanjut, karena tidak semua pesantren masuk dalam kategori pendidikan formal yang diatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Panut, 2021).

Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren secara tegas menyebutkan bahwa ijazah pesantren memiliki kedudukan yang sama dengan ijazah pendidikan formal lainnya (UU No.18/2019). Ironinya, implementasi di lapangan tidak sejalan dengan amanat hukum tersebut. Banyak instansi pemerintah belum memiliki mekanisme yang jelas untuk memverifikasi ijazah pesantren, sementara sebagian pesantren belum terintegrasi dalam sistem akreditasi nasional.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengakuan negara terhadap pesantren masih bersifat seremonial, bukan struktural. Santri diagungkan dalam pidato, tetapi dipersulit di meja birokrasi.

Birokrasi, Stigma, dan Warisan Paradigma Lama

Terdapat setidaknya tiga akar masalah utama. Pertama, keragaman sistem pendidikan pesantren. Ada pesantren salafiyah yang fokus pada pengajaran kitab klasik, khalafiyah yang memadukan kurikulum umum, dan pesantren modern dengan sistem integratif (Syah, 2019). Variasi ini mengakibatkan adanya perbedaan dalam penamaan ijazah serta standar kemampuan, sehingga membuat lembaga pemerintah mengalami kesulitan dalam menentukan kesetaraan administratif.

Kedua, ketidakharmonisan regulasi antar-kementerian. Walaupun Kementerian Agama telah mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana dan Perpres Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Pesantren, belum ada sistem terpadu lintas lembaga untuk pengakuan ijazah pesantren di birokrasi sipil (Perpres No.82/2021; Kemenag, 2023). Akibatnya, banyak lulusan pesantren harus melalui proses verifikasi berlapis yang memakan waktu dan biaya.

Ketiga, stigma sosial terhadap pendidikan tradisional. Dalam beberapa kasus, pesantren masih dipandang sebagai lembaga “non-formal” yang tidak menghasilkan kompetensi kerja relevan (Azra, 2019). Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa pesantren justru mencetak social capital yang tangguh, disiplin, jujur, beretika, dan memiliki daya tahan moral tinggi (Fauziah, 2020). Sayangnya, nilai-nilai ini belum diterjemahkan menjadi indikator pengakuan administratif.

Dari Penghargaan Historis ke Rekognisi Struktural

Negara tidak cukup berhenti pada penghormatan simbolik. Rekognisi formal ijazah santri harus diwujudkan melalui langkah konkret di tiga tingkat:

  1. Kebijakan Teknis Nasional. Pemerintah perlu mempercepat penyusunan Peraturan Pemerintah Turunan dan Petunjuk Teknis dari UU Pesantren. Kementerian Agama, Pendidikan, dan PAN-RB harus mengembangkan sistem digital terpadu yang memverifikasi ijazah pesantren berdasarkan akreditasi dan profil kompetensi (Panut, 2021).
  2. Penguatan Kapasitas Pesantren. Pesantren perlu membangun sistem dokumentasi akademik modern tanpa meninggalkan ruh tradisionalnya. Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk credit transfer dan program sertifikasi kompetensi akan memperkuat daya saing lulusan (Heriyudanta, 2020).
  3. Perubahan Paradigma Sosial. Masyarakat dan birokrasi harus memandang pesantren bukan sebagai lembaga inferior, tetapi sebagai mitra strategis dalam pembangunan moral bangsa. Pengakuan terhadap ijazah santri adalah bentuk keadilan historis, dan pengakuan terhadap mereka yang pernah menumpahkan darah demi kemerdekaan (Suwarno, 2018).

Dengan langkah-langkah tersebut, penghormatan terhadap santri tidak lagi berhenti pada simbol dan seremoni, melainkan terwujud dalam struktur hukum dan kebijakan negara.

Menunaikan Janji Sejarah

Perjuangan santri tidak berhenti di Surabaya tahun 1945, perjuangan itu kini berlanjut di ruang-ruang administrasi dan kebijakan publik. Mengakui ijazah santri berarti menuntaskan janji Sejarah, bahwa mereka yang berjuang untuk republik ini tidak akan dibiarkan menjadi warga kelas menengah kebawah di negerinya sendiri.

Negara yang adil tidak hanya menggelar upacara Hari Santri, tetapi juga memastikan bahwa setiap lulusan pesantren memiliki hak yang sama untuk diakui dan dihargai. Pengakuan ijazah santri bukan sekadar reformasi birokrasi, melainkan langkah moral untuk menyatukan kembali nilai, sejarah, dan kebijakan dalam satu napas keadilan sosial.

Penulis : Zida Nazlul Arzaqina