Seperti yang kita ketahui salah satu diantara tokoh besar imam empat mazdhab yang berkembang pada zamannya dan termasuk pakar ilmu hadits dan fikih, tidak lain ialah Imam Malik. Nama lengkapnya yaitu Abu Abdullah Malik bin Anas As Syabahi Al-Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits, Malik juga biasa dipanggil Abdullah atau Al Asbahi nama dari julukan kakeknya. Ia lahir di kota Madinah pada masa pemerintahan Al Walid bin Abdul Malik ( Umayah I ), suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/ 713 M, dan beliau tutup usia pada masa pemerintahan Abbasiyah dibawah kekuasaan Harun Ar-Rasyid ( Abbasiyyah ).
Di kota Madinah pada masa pemerintahan Sulaiman setelah Al-Walid I, Ia berguru dengan para ulama’disana. Belajar ilmu agama pada Imam Abdurrahman bin Hurmuz, Belajar ilmu hadits pada Nafi Maulana bin Umar, belajar ilmu fikih pada Ibnu Syihab az-Zuhri, dan belajar pada Rabiah bin Abdurrahman yang terkenal dengan sebutan Rabi’atur Ra’yi.
Ibn Abd al-Hakam berkata : “ Malik sudah mengeluarkan fatwa ijtihad bersama para gurunya; Yahya bin Sa’id; Rabi’ah dan Nafi”. Bahkan menurut Mus’ab, halaqah ( perkumpulan yang membahas urusan agama ) yang diselenggarakan Malik lebih besar daripada halaqah Nafi’.
Imam malik mendapati ijazah dari seorang syaikh / guru untuk menyelenggarakan pengajian sendiri di Masjid Madinah. Namun imam malik menanggapinya dengan berkata : “Saya tidak mengadakan pengajian sendiri kecuali sesudah 70 syeikh dan Ulama memberikan kesaksian bahwa saya telah benar-benar pantas untuk melakukan itu “.
Suatu ketika malik sendiri mengatakan “ jika aku berfatwa dan mengajari suatu hal, maka ada sekitar 70 ulama’ ikut bergabung dan hadir didalamnya, menurut malik seseorang yang benar-benar menguasai ilmu niscaya dikenal masyarakatnya. Itulah kesaksian para ulama’ besar termasuk para gurunya dan imam malik kini diakui memiliki kecerdasan dan kepandaian. Sejak saat itu imam malik melaksanakan ijazah yang diberikan syaikh tersebut, dan mulai mengembangkan pengetahuannya melalui pengajian sendiri di Masjid Madinah pada usia tujuh belas tahun.
Laits, murid imam malik yang mengembangkan Mazhab Maliki dan melakukan ekspansi di wilayah Spanyol ( Andalusia ) dibantu dengan Ziyad bin Abdurrahman. Pada masa Hisyam ibn Abdurrahman, mazhab Maliki teersebar luas. Sebelumnya penduduk Andalusia menganut mazhab Imam al Awzai. Menurut al Maqarri di Nafh at Thib, “pada masa Hisyam, banyak penduduk Andalusia termasuk pengikutnya berhaji ke Mekkah dan bertemu dengan Imam Malik. Sepulangnya mereka menceritakan kembali (mengenai keutamaan, keluasan ilmu, dan kedudukan tinggi sang imam ) dari apa yang sudah diajarkan lalu dikembangkannya, saat itu merupakan mazhab hukum yang pertama dalam sejarah islam. Semenjak itulah ilmu dan pendapat Imam Malik tersebar luas di Andalusia.
Mazhab Maliki lebih banyak dianut oleh bangsa Maroko dan Andalusia. Jika ditemukan di bangsa lain itupun sangat minoritas, hanya sebagian masyarakat kecil saja. Dikarenakan kedua bangsa tersebut sering kali melakukan perjalanan jauh terutama wilayah hijaz, yang pada saat itu Kota Madinah merupakan gudang ilmu islam lebih tepatnya pusat perbendaharaannya hadits Nabi SAW, sehingga setiap masalah yang muncul selalu dikaitkan dan bergantung pada hadits Nabi atau fatwa sahabat. Disana kehidupan mereka hanya mempelajari ilmu pengetahuan dari para ulama , yaitu Imam Malik serta guru-guru dan murid-muridnya dan juga menghafal Al-Qur’an lalu menghafal hadits Nabi. Kehidupan yang berpindah-pindah sudah melekat kedua bangsa tersebut, sehingga mereka tidak banyak mengenal kebudayaan seperti bangsa Irak.
Bagi kedua bangsa tersebut mazhab Maliki menjadi lebih tertutup dan tidak banyak mendapat pengaruh kebudayaan dan peradaban lain seperti mazhab lainnya. Kondisi dimana Malik hidup juga memberikan pengaruh besar terhadap sikap teguhnya pada hadits dan keengganannya pada ijtihad akal ( rasio ). Selama empat tahun hidup dalam periode Umayyah dan empat puluh enam tahun dalam periode Abbasiyah, dimana masa ini mengalami puncaknya konflik seperti fitnah dan politik. Seperti Sering munculnya hadits-hadits palsu yang beredar dan menimbulkan pertentangan dikalangan masyarakat.
Hal ini terlibat juga dalam beberapa peristiwa lain diantaranya : ( 1 ) ketika pembesar Khalifah Abbasiyah memerintahkan kepada penduduk Madinah untuk taat pada khalifah dengan sumpah setia ( bai’at ), imam malik berfatwa bahwa tidak harus melakukan bai’at, begitu pula ketika ia berfatwa bahwa hukum kawin mut’ah ( kontrak ) itu haram maka ia dihukum oleh aparat Khalifah Abbasiyah; ( 2 ) ketika Khalifah Harun ar-Rasyid ziarah ke makam Nabi di Madinah, khalifah meminta imam malik untuk mengunjunginya dalam urusan agama, namun imam malik pun berkata : “ jika khalifah membutuhkan saya, maka khalifah yang harus datang menemui saya “. Akhirnya khalifah pun datang ke rumah Imam Malik. Dalam hal ini membuktikan bahwa Imam malik memiliki karakter budi pekerti, cara berpikir yang cerdas, pemberani, situs dan konsisten dalam mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Melihat kontradiksi ini , Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadits. Maka terbitlah buku karya Imam Malik yang sangat monumental, Al- Muwatta’. Buku monumental ini ialah bukti sejarah yang nyata hingga sekarang. Buku ini memuat hadits-hadist shahih, perbuatan orang-orang Madinah, pendapat para sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis mengikuti sistematika penulisan fikih.
Dalam penyusunan kitab Al-Muwatta ini, ada dua tokoh yang paling berpengaruh dalam bidang fikih yang berbasis hadits, yaitu Nafi’ Maula bin Umar dan Ibn Syihab Az-Zuhri.Imam Malik mengumpulkan hadits-hadits yang kemudian dimuat dalam kitab ini atas pemerintahan khalifah Abbasiyah,
Buku ini ditulis karena desakan-desakan dan kebutuhan untuk memberikan pemahaman yang mendasar terhadap masyarakat. Setelah buku ini rilis, banyak mendatangkan sisi positifnya. Seperti sambutan hangat dari masyarakat, terutama kalangan Ulama’, banyak yang meminta riwayat hadits dari Imam Malik. Penguasa Abbasiyah, Ja’far Al Mansur mencetuskan ide dengan menyebarluaskan Muwatta’ ke seluruh penjuru daerah lalu meletakkannya didepan pintu ka’bah, akan tetapi Imam Malik pun menolak dan menginginkan kembali seperti semula.
Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu hadits namun dirinya juga tetap terpengaruh dengan penggunaan rasio ( akal ) dalam berijtihad karena kondisi sosial saat itu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan Amal ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah), Fatwa sahabat, Qiyas, Al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘Urf (adat istiadat) dalam pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga seperti mazhab lain yakni dengan berlandaskan al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam.
Salah satu faktor pendukung mengapa Imam Malik menjadi ahli hadits, yakni berasal dari lingkungan yang baik. Imam Malik tumbuh dari keluarga yang baik, ayahnya pernah mempelajari hadits-hadits serta berprofesi sebagai pembuat panah. Kemudian menghafal Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW dan belajar fikih Imam Malik pun juga tidak pernah keluar rumah, kecuali dikhususkan untuk haji. Sedangkan kota Madinah pada masa itu menjadi pusat kehidupan Nabi, karena dikota inilah Rasul tinggal selama beberapa tahun. Lingkungan yang baik sangat mempengaruhi diri kita bagaimana cara kita menyesuaikan serta memotivasi untuk berubah menjadi lebih baik. Selain itu komplikasi yang terjadi di Madinah ringan dan sederhana sehingga dapat ditangani oleh masyarakat itu sendiri dengan hadits sebagai acuannya.
Sumber Referensi :
Aris Danu. 2016. Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas : Pendekatan Sejarah Sosial. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 1, Nomor 2.
DOI : https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-ahkam/article/view/177
Setia Mei. 2017. BAB III : PENYEBARAN MAZHAB MALIKI DI ANDALUSIA
DOI : http://digilib.uinsby.ac.id/17148/
Penulis : Fatnun Fajriyah (MAN KOTA BATU)
Penyunting : Afsana Nur Maulida
Leave a Review