Cahaya Dua Warna di Layar Digital: Kiprah Pelajar Putri Menyapa Zaman

Ditengah derasnya arus digitalisasi yang semakin cepat, banyak organisasi pelajar yang berlomba menampilkan citra yang segar, interaktif, dan dekat dengan dunia remaja. Sementara itu, IPNU-IPPNU sering kali masih terjebak dalam pola komunikasi konvensional seremonial, kaku, dan jarang muncul di ruang digital pelajar. Akibatnya, IPNU-IPPNU tampak jauh dari kehidupan remaja masa kini, seolah menjadi organisasi “masa lalu” di tengah generasi yang serba visual dan cepat. Saya, sebagai salah satu pelajar IPPNU merasakan bahwa organisasi ini, kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana tetap relevan di mata generasi muda yang serba cepat, visual, dan kritis terhadap identitas sosialnya. Masalah utama bukan pada nilai yang dibawa, melainkan pada cara organisasi ini mempresentasikan dirinya. Ketika pelajar lebih mengenal komunitas daring, influencer pendidikan, atau organisasi sosial modern di media sosial, IPPNU justru kehilangan panggung. Padahal, jika dilihat dari esensi, IPPNU memiliki visi besar: mencetak generasi perempuan yang cerdas, berakhlak, dan siap berperan di masyarakat dengan berlandaskan nilai Ahlussunnah wal Jamaah.

“Eh kamu itu ikut ibu-ibu PKK ya?”. Pertanyaan itu masih teringat jelas di benak saya. Sepele memang, tapi cukup untuk membuat saya berpikir panjang. Tidak jarang teman-teman di sekolah menanyakan hal serupa setiap kali saya mengenakan atribut kerudung kuning kunyit khas IPPNU. Pertanyaan lain pun muncul: “IPPNU tuh apa sih?” atau “IPPNU ngapain aja sih kegiatannya?”. Dari situ saya sadar, tidak semua pelajar benar-benar mengenal organisasi ini, bahkan banyak yang belum memahami esensinya sebagai wadah pembentukan karakter dan kepemimpinan remaja Nahdlatul Ulama.

Masalah ini bukan hanya milik IPPNU. Di sisi lain, ada organisasi DKAC KPP, oganisasi yang sering terlihat dengan kerudung oranye cerah, warna yang melambangkan semangat, kreativitas, solidaritas, dan keberanian perempuan muda yang aktif dalam kegiatan sosial kepemimpinan. Sejarah mencatat, KPP pernah menjadi bagian dari perjuangan bangsa saat peristiwa Ganyang Malaysia. Namun kini, namanya nyaris tak terdengar dikalangan pelajar. Banyak yang bahkan tidak tahu bahwa organisasi ini masih ada, apalagi memahami bahwa semangat perjuangannya masih terus diwariskan. Organisasi ini sering disalahpahami sebagai lembaga tanpa arah yang kehilangan relevansi setelah masa Ganyang Malaysia usai, padahal kini ia berjuang di medan yang berbeda, yaitu dunia gagasan dan digital. Kedua warna ini (IPPNU&KPP) seolah menjadi lambang dua sisi bagi saya, satu lembut dan penuh makna spiritual, satu lagi hangat dan energik. Saya percaya, pelajar perempuan bisa memadukan keduanya dalam satu semangat yang sama menjadi generasi yang berilmu, berani, dan peduli terhadap sesama. Keduanya sebenarnya saling melengkapi, IPPNU menggerakkan sisi intelektual dan moral, sedangkan KPP menghidupkan semangat fisik dan militansi positif pelajar.  Keduanya membawa nilai yang berbeda, tetapi memiliki satu tujuan yang sama yaitu untuk memberdayakan pelajar perempuan agar berani, cerdas, dan berakhlak.

Faktanya, pelajar zaman sekarang tidak hanya mencari wadah untuk berorganisasi, tetapi juga ruang aktualisasi diri yang bisa memberi mereka pengalaman bermakna. Pelajar tidak akan datang jika tidak diajak dengan cara yang mereka pahami. Jika organisasi ini ingin kembali menarik perhatian generasi muda, maka perubahan yang dibutuhkan bukan hanya soal berada di dunia digital, tetapi bagaimana cara berkomunikasi di dunia digital. IPNU-IPPNU tidak kekurangan kader cerdas. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berubah. Rebranding digital bukan sekadar soal mempercantik konten, tapi tentang menata ulang cara berkomunikasi dan membangun citra baru di mata pelajar dan masyarakat. Organisasi ini mempunyai potensi besar untuk menjadi wadah pengembangan diri yang tidak hanya religius, tapi juga relevan dan kreatif. Dengan pendekatan digital yang tepat, menggabungkan nilai, gaya, dan cerita, organisasi ini bisa kembali menjadi organisasi yang dibanggakan dan dicari oleh pelajar.

Rebranding bukan berarti meninggalkan nilai lama, tetapi menghidupkan kembali semangat lama dengan cara baru. IPPNU dapat menampilkan dirinya sebagai wadah pemberdayaan perempuan pelajar yang berpikir kritis dan berperan aktif dalam ruang publik digital. Sementara KPP bisa menguatkan kembali citra pelajar Nahdliyin yang disiplin, nasionalis, dan berani bersuara di tengah tantangan kebangsaan modern. Rebranding keduanya bisa dilakukan melalui konten yang kreatif, kampanye nilai di media sosial, podcast Pelajar NU, hingga membuka diri terhadap kolaborasi lintas platform dan lintas komunitas. Bekerja sama dengan influencer pelajar, komunitas konten kreatif, atau creator muslim muda bisa menjadi langkah strategis untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Lebih dari sekedar gaya, rebranding harus menyentuh makna, menunjukkan bahwa nilia-nilai ke-NU-an tidak hanya cocok untuk masa lalu, tapi juga sangat relevan untuk membentuk karakter generasi masa depan, generasi yang tidak ganya melek agama, tapi juga melek digital dan sosial. Bayangkan jika ada serial video “Kader Bicara” di YouTube yang menampilkan kisah inspiratif anggota muda, atau TikTok challenge dengan tema “Bangga Jadi Pelajar NU”. Bentuk seperti ini bukan hanya tren, tetapi juga cara baru berdakwah dan menebar nilai keislaman yang ramah.

Namun, dalam upaya memperkenalkan organisasi melalui media sosial, ada satu hal yang kerap dilupakan, yaitu pentingnya etika digital. Kehadiran media sosial memang membuka peluang luas untuk menyebarkan semangat organisasi, tetapi juga menghadirkan risiko besar ketika konten dibuat tanpa adab. Banyak yang mengejar viralitas, tetapi melupakan marwah organisasi. Padahal, esensi perjuangan pelajar NU adalah menebarkan ilmu dan akhlak, bukan sekedar eksistensi. Maka dari situlah kita harus tetap menggunakan etika dalam penggunaan media digital.

Dua warna ini, kuning kunyit dan oranye adalah simbol harmoni antara kelembutan dan keberanian, antara ilmu dan perjuangan. Jika dulu pelajar berjuang dengan bambu runcing, maka kini perjuangan kita adalah melawan kebodohan, keterasingan nilai, dan pudarnya semangat berorganisasi. Gus Mus pernah berkata, “Zaman boleh berubah, tapi cara kita menebar kebaikan juga harus ikut menyesuaikan.” Kalimat ini menjadi pengingat bahwa dakwah dan pendidikan tidak harus selalu hadir dalam bentuk ceramah atau kegiatan formal, bisa juga melalui storytelling digital maupun upaya rebranding lainnya. Ketika IPPNU dan KPP mampu memadukan kreativitas dengan etika, saat itulah keduanya menemukan bentuk terbaik dari rebranding. Mereka bukan sekadar organisasi yang tampil dilayar, tetapi gerakan moral yang hadir dihati pelajar. Kedua warna ini pun tak lagi disalahartikan, melainkan diingat sebagai simbol kebijaksanaan dan keberanian perempuan muda Nahdliyin.

Bayangkan jika kedua warna ini muncul di layar-layar digital, bukan hanya sebagai seragam, tapi sebagai simbol pergerakan pelajar yang inspiratif. Itu akan menjadi sinar baru bagi generasi Nahdliyin. Mereka tidak sedang kehilangan generasi, mereka hanya belum menjemput generasi dengan cara yang tepat. Organisasi ini memiliki semua modal penting: sejarah, nilai, dan jaringan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk bertransformasi menjadi komunitas digital yang inklusif, kreatif, dan inspiratif. Perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, tapi setiap langkah kecil menuju adaptasi yang kita lakukan adalah bentuk cinta terhadap organisasi ini yang akan menghasilkan sebuah perubahan yang besar. Karena sejatinya, organisasi ini bukanlah tentang masa lalu yang ingin dikenang, melainkan tentang masa depan yang harus diperjuangkan. Baik kuning maupun oranye, keduanya adalah warna cahaya. Warna yang menandakan kehidupan, harapan, tantangan, tujuan dan keberlanjutan perjuangan pelajar perempuan di tengah tantangan zaman. Mereka bukanlah dua dunia yang berbeda, melainkan dua ruang yang saling menyinari.

Penulis : Nurul Khasanah