Setelah lulus sekolah atau bagi kalian yang masih bersekolah, apakah mulai menyadari salah satu masalah dalam pendidikan yang telah kita tempuh? Yaitu, nilai rapor ujian yang menjadi tolok ukur prestasi siswa. Tidak jarang, bahkan hampir seluruh sekolah di Indonesia, siswa pernah melakukan kecurangan dalam ujian, seperti mencontek, atau hanya belajar saat ujian akan berlangsung.
Kenyataan ini membawa kita pada refleksi, “Apakah semua ini benar-benar esensi dari pendidikan kita?” Lalu, “Apakah kita bisa mengukur kecerdasan hanya berdasarkan nilai rapor?”, “Apakah mencontek adalah esensi pendidikan kita?”
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan (2025) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik menyontek masih terjadi di 78% sekolah dan 98% kampus di Indonesia. Bahkan, sebanyak 43℅ responden menyatakan bahwa praktik plagiarisme terjadi di kampus. Ada pula temuan lainnya: 6℅ plagiarisme rentan terjadi di ruang sekolah.
Banyak siswa di Indonesia memperoleh nilai tes atau ujian tinggi di sekolah, akan tetapi kemampuan mereka untuk berpikir kritis, kreatif, dan memecahkan masalah (problem solving) masih rendah. Data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara dalam keterampilan berpikir kritis (Nurdiyati, Novita, & Patonah, 2025).
Dampak dari fokus berlebihan pada nilai adalah pendangkalan proses belajar. Fokus yang terlalu besar pada nilai membuat proses belajar menjadi dangkal. Artinya, siswa tidak lagi didorong untuk memahami materi, melainkan menghafal materi secara instan guna mengejar nilai ujian semata. Berdasarkan temuan Harvard Business School Publishing, ketika siswa terlalu berorientasi pada nilai sebagai motivasi eksternal, perhatian mereka bergeser dari proses belajar itu sendiri menuju hasil akhir semata. Akibatnya, tujuan utama pendidikan, yaitu pembentukan pemahaman dan kemampuan berpikir kritis, menjadi terabaikan (Harvard Business School Publishing, 2023).
Tekanan terhadap tuntutan nilai berdampak signifikan pada kesehatan mental siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama satu bulan dengan 71 responden mahasiswa menggunakan kuesioner daring SRQ-20 menunjukkan adanya hubungan yang sangat kuat dan positif antara skor SRQ-20 dengan gangguan mental emosional. Sebanyak 31% mahasiswa mengalami gangguan mental emosional yang berdampak pada penurunan kesejahteraan. Keluhan yang paling sering dialami antara lain ketidakmampuan melakukan hal bermanfaat (43,7%), mudah lelah (42,3%), mudah takut (36,6%), sulit mengambil keputusan (35%), merasa cemas (32,4%), dan sering sakit kepala (28,2%). Banyak siswa merasa cemas, stres, bahkan kehilangan minat belajar karena tidak mampu memenuhi ekspektasi, takut dianggap bodoh, takut gagal (Kurniawati, dkk) .Fenomena ini memuncak setiap menjelang ujian atau seleksi masuk perguruan tinggi. Tak sedikit yang akhirnya menempuh jalan pintas seperti mencontek, menyewa jasa joki untuk mengerjakan ujian, bahkan membeli jawaban atau soal ujian. Tekanan muncul karena adanya desakan dalam diri siswa baik itu dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang disebabkan oleh kuantitas tugas yang harus diselesaikan. Siswa dengan tingkat kepercayaan diri rendah cenderung lebih mudah melakukan kecurangan akademik karena merasa tidak mampu menghadapi tekanan dan tuntutan akademik (Zainafree, Suhendri, & Ajie, 2023).
Dalam dunia pendidikan, siswa seharusnya diarahkan untuk menemukan strategi belajar yang efektif bagi dirinya. Pendekatan seperti menghafal dan memahami sama-sama penting, tergantung konteks dan tujuan pembelajaran. Namun, menghafal tanpa pemahaman adalah proses belajar yang kurang efektif. Menurut David Ausubel melalui teori meaningful learning-nya menegaskan bahwa informasi yang dipahami secara mendalam justru akan bertahan lebih lama tersimpan dalam memori dan lebih mudah diterapkan dibanding informasi yang hanya sekadar dihafalkan (Sexton, 2025).
Siswa yang hanya menghafal saja, cenderung kesulitan saat dihadapkan pada pertanyaan analitis atau situasi baru. Dalam pelajaran Sejarah, alih-alih hanya menghafal tahun Perang Diponegoro, siswa akan lebih memahami jika diajak menganalisis: “Strategi apa yang bisa dilakukan Pangeran Diponegoro seandainya perang terjadi di era media sosial?” Di sini, hafalan tanggal tetap diperlukan, tetapi pemahaman konteks, strategi, dan analisis sebab-akibatlah yang membentuk nalar kritis. Inilah inti pendidikan yang kita butuhkan, yaitu menumbuhkan nalar kritis, akal sehat, bukan sekadar menumpuk pengetahuan.
Visi “Human-Centered Education Over Exam-Driven System”
Visi ini menekankan pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat utama dari proses pendidikan, bukan hanya angka hasil rapor atau nilai ujian. Pendidikan yang seharusnya membangun keseimbangan antara pengetahuan, karakter, dan kebahagiaan batin. Dengan visi ini, setiap individu diajak untuk tumbuh dengan sadar, berpikir kritis, rasa ingin tahu dan belajar karena cinta terhadap prosesnya, bukan karena tekanan kompetisi yang tidak sehat. Tujuan akhir dari visi ini adalah menciptakan manusia yang utuh, berpengetahuan luas, berkarakter kuat, dan mampu berdamai dengan diri serta lingkungannya.
Pada konteks pendidikan, visi ini diwujudkan dengan mengganti pelajaran yang membebani siswa dengan fokus pada materi yang lebih bermakna. Pelajaran wajib inti meliputi calistung (membaca, menulis, berhitung), etika dan filsafat hidup, jati diri dan self-love, sejarah peradaban manusia, serta pengelolaan sumber daya alam, manusia, dan teknologi. Siswa juga diberi kebebasan memilih pelajaran minat sesuai passion mereka, misalnya bertani, melukis, IT, olahraga, atau musik, sehingga bakat dan motivasi intrinsik dapat diasah sejak dini. Kurikulum padat yang selama ini ada cenderung menciptakan “banjir informasi” tanpa makna. Calistung menjadi fondasi belajar, sementara etika, jati diri, dan self-love adalah keterampilan hidup krusial yang sering diabaikan. Dengan memberi ruang bagi minat masing-masing siswa, sistem ini memanusiakan peserta didik dan menyiapkan jalur karier yang lebih jelas.
Peran guru juga diubah, dari sekadar sumber informasi menjadi fasilitator pembelajaran dan penumbuhan karakter. Guru didukung dengan pelatihan metode inquiry-based learning dan project-based learning untuk menciptakan ruang kelas yang dinamis dan manusiawi. Di era digital, informasi tersedia di mana saja, sehingga siswa membutuhkan pembimbing yang membantu menyaring informasi, berpikir kritis, dan mengolah pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Guru menjadi mitra belajar yang memfasilitasi proses bertanya, mencari jawaban, dan mencipta.
Asesmen difokuskan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang mencakup kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta, bukan sekadar mengingat. Penilaian juga mencakup perkembangan empati, integritas, dan rasa cinta terhadap proses belajar. Dunia nyata membutuhkan pemecah masalah, bukan penghafal. Kemampuan Higher Order Thinking Skills membedakan manusia dengan mesin dan mendorong lahirnya inovator. Kecerdasan akademik tanpa karakter berbahaya, sehingga menjadi manusia yang jujur dan empatik sama pentingnya dengan meraih nilai sempurna. Visi “Human-Centered Education Over Exam-Driven System” lahir dari keyakinan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia utuh yang berdamai dengan dirinya sendiri dan dunianya. Sistem lama menimbulkan kekacauan batin berupa krisis integritas, kecemasan, dan rasa tidak percaya diri. Dengan kurikulum baru, siswa memiliki ruang untuk bernalar dan bereksplorasi. Sistem penilaian yang diperbarui mengurangi kompetisi tidak sehat. Peran guru yang direvolusi mengubah ruang kelas menjadi taman tumbuh kembang yang penuh kedamaian. Pendidikan tidak lagi menjadi lomba mengingat yang melelahkan, tetapi perjalanan memaknai kehidupan dan menemukan jati diri. Saat itulah lahir lulusan yang bukan hanya memiliki nilai sempurna, tetapi juga pemikir, pemecah masalah, dan manusia berkarakter yang siap menghadapi kompleksitas zaman dengan kedamaian, bukan kekacauan batin.
Penulis : Dilhas Arsanamullia M dan Halwa Nafisah A
![Masjid Al-Aqsha Menara Kudus [doc. Asna Maulana]](https://pelajarkudus.com/wp-content/uploads/2021/10/WhatsApp-Image-2021-10-06-at-14.01.33.jpeg)








Leave a Review