Pelajar Kudus- Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dan kontribusi para pekerja dalam membangun ekonomi dan peradaban. Namun, seiring dengan transformasi digital dan perubahan lanskap industri, definisi “buruh” itu sendiri mengalami evolusi yang signifikan. Di era digital saat ini, muncul sekelompok pekerja baru yang menjadi tulang punggung industri media kreatif—para konten kreator dan freelancer.
Konten kreator, yang meliputi YouTuber, streamer, influencer media sosial, podcaster, hingga penulis konten digital, telah menjadi profesi yang diminati generasi muda. Sementara itu, para freelancer seperti desainer grafis, videografer, fotografer, animator, dan pengembang web bekerja dari proyek ke proyek dengan fleksibilitas tinggi namun juga ketidakpastian yang sama besarnya. Mereka bekerja tanpa jam kerja tetap, tanpa kantor fisik, dan seringkali tanpa jaminan sosial yang memadai.
Menurut data terbaru dari Kementerian Ekonomi Kreatif dan berbagai laporan industri, jumlah konten kreator di Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar 17 juta orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 8 juta orang telah menjadikan aktivitas sebagai konten kreator sebagai profesi utama, dengan 63 persen di antaranya memperoleh penghasilan di atas Upah Minimum Regional (UMR). Angka ini menunjukkan pertumbuhan signifikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, seiring dengan semakin matangnya ekosistem digital dan meningkatnya peluang monetisasi di berbagai platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok.
Untuk kategori freelancer, data terbaru yang tersedia secara resmi berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, yang mencatat sekitar 33,34 juta orang bekerja sebagai freelancer atau pekerja paruh waktu. Tren ini diperkirakan terus meningkat hingga 2025, didorong oleh perubahan pola kerja, kemajuan teknologi, dan semakin populernya pekerjaan jarak jauh. Namun, hingga awal 2025, belum ada rilis resmi yang menyebutkan angka pasti jumlah freelancer terbaru. Berdasarkan tren pertumbuhan tahunan sebelumnya (sekitar 26 persen pada 2020), sangat mungkin jumlah freelancer di Indonesia pada 2025 sudah melampaui 35 juta orang meski angka pastinya masih menunggu pembaruan data resmi dari BPS atau lembaga terkait.
Namun, dibalik maraknya konten kreator dan freelancer, terdapat tantangan besar yang harus mereka hadapi. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah ketidakstabilan pendapatan. Studi dari Media Workers Guild mengungkapkan bahwa 67% pekerja lepas di industri kreatif mengalami keterlambatan pembayaran, 45% pernah mengalami pembatalan proyek sepihak tanpa kompensasi, dan hanya 23% yang memiliki akses ke jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Rully Tamara, seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam publikasinya “Perlindungan Sosial bagi Pekerja Ekonomi Kreatif” menyoroti bahwa ketiadaan regulasi yang spesifik untuk melindungi pekerja lepas menyebabkan mereka berada pada posisi yang rentan.
Indonesia memiliki beberapa regulasi yang relevan dengan pekerja industri kreatif, namun implementasinya masih belum optimal. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada dasarnya melindungi hak-hak pekerja, namun belum mengakomodasi karakteristik unik dari pekerja kreatif, terutama yang berstatus lepas. Sementara UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, meskipun memberikan perlindungan terhadap karya kreatif, implementasinya masih lemah, terutama dalam konteks digital. Adapun PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik memberikan kemudahan bagi kreator untuk mendaftarkan usaha, namun belum banyak yang memanfaatkannya karena kurangnya sosialisasi.
Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk melindungi buruh industri kreatif. Gerakan #PayCreatorsRight telah menjadi kampanye signifikan yang mendorong lebih dari 200 perusahaan untuk menandatangani komitmen pembayaran tepat waktu kepada kreator dan pekerja lepas. Selain itu, Asosiasi Pekerja Kreatif Indonesia (APKI) yang didirikan tahun 2019 telah membantu lebih dari 3.000 anggotanya mendapatkan akses ke perlindungan hukum dan jaminan sosial. Tidak ketinggalan, beberapa platform digital seperti Sribulancer dan Project X telah mengembangkan sistem escrow untuk memastikan keamanan pembayaran bagi pekerja lepas.
Di balik kemilau industri media kreatif yang terus bertumbuh, tersembunyi realitas pekerja yang masih berjuang mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan kesejahteraan yang layak. Memperingati Hari Buruh adalah momentum tepat untuk merefleksikan kontribusi pekerja kreatif dan berkomitmen memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik bagi mereka. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem industri kreatif yang tidak hanya menghasilkan karya berkualitas, tetapi juga memastikan kesejahteraan para pekerja di baliknya. Dengan demikian, industri media kreatif dapat menjadi sektor yang benar-benar berkelanjutan dan inklusif.
Penulis : Izmi N A