Pelajar Kudus_Setiap kali Idul Adha datang, kita mendengar gema takbir yang menggema di langit. Lantunan itu membawa kita kembali kepada kisah paling menggugah dalam sejarah keimanan manusia kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Tapi sejatinya, ini bukan sekadar kisah seorang ayah yang diminta menyembelih anaknya. Ini adalah kisah tentang melepaskan. Tentang pengorbanan. Tentang menyadari bahwa segala yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan, bukan milik.
Setiap kita adalah Ibrahim. Setiap kita memiliki sesuatu yang kita cintai, yang begitu kita genggam erat, yang kita anggap sebagai milik mutlak kita. Mungkin itu adalah anak kita. Mungkin itu harta yang telah kita kumpulkan selama bertahun-tahun. Mungkin itu jabatan yang kita perjuangkan. Mungkin itu gelar, reputasi, popularitas, atau bahkan ego kita sendiri. Itulah “Ismail” kita.
Nabi Ibrahim tidak diperintahkan oleh Allah untuk membunuh Ismail karena Allah ingin menghilangkan nyawa seorang anak. Bukan. Allah Maha Pengasih, dan tidak pernah memerintahkan keburukan. Yang Allah inginkan dari Ibrahim adalah satu hal: hilangkan rasa kepemilikanmu terhadap sesuatu yang sebenarnya bukan milikmu.
Karena sesungguhnya, Ismail bukan milik Ibrahim. Anak, harta, jabatan, semuanya hanyalah titipan. Maka ketika Ibrahim bersedia mengorbankan yang paling dicintainya demi Allah, ketika ia mengangkat pisau di atas ketaatan, bukan di atas nafsu atau rasa memiliki, Allah pun berkata:
“Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.”
(QS. Ash-Shaffat: 107)
Hari ini, kita tidak diperintahkan untuk menyembelih anak. Tapi kita tetap diuji: bisakah kita menyembelih “Ismail-Ismail” kita? Bisakah kita melepaskan harta saat Allah minta untuk disedekahkan? Bisakah kita meninggalkan jabatan saat kejujuran dipertaruhkan? Bisakah kita menurunkan ego saat keluarga atau persaudaraan nyaris retak? Bisakah kita menyerahkan ambisi pribadi saat Allah meminta kita kembali kepada jalan yang lurus?
Qurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan. Bukan tentang daging dan darah. Allah tegaskan dalam firman-Nya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”
(QS. Al-Hajj: 37)
Artinya, yang Allah kehendaki dari kita bukan kambing yang dipotong, tetapi hati yang rela. Bukan sapi yang disembelih, tetapi ego yang ditundukkan.
Maka di hari raya ini, mari kita bertanya pada diri sendiri: apa Ismail kita? Apa yang sangat kita cintai, hingga kita sulit merelakannya bahkan untuk Allah?
Apakah itu harta? Jabatan? Nama baik? Ego? Anak? Ambisi?
Kalau hari ini Allah memintanya kembali, apakah kita siap melepaskannya?
Karena sejatinya, berqurban adalah pelajaran untuk tidak menggenggam dunia terlalu erat. Dunia hanyalah tempat singgah, bukan tempat tinggal. Dunia bukan tujuan akhir, tapi ladang ujian.
Idul Adha bukan tentang pesta daging. Idul Adha adalah tentang menjadi hamba yang taat dan ikhlas. Hamba yang memahami bahwa semuanya hanyalah titipan. Dan yang diminta dari kita bukan darah dan daging, tetapi ketundukan dan cinta kepada Sang Pemilik Segalanya.
Selamat Hari Raya Idul Adha.
Mari kita rayakan bukan hanya dengan menyembelih hewan qurban, tetapi juga dengan menyembelih rasa memiliki, rasa sombong, dan rasa tamak dalam hati. Karena setiap kita adalah Ibrahim.Dan setiap kita punya Ismail.
Penulis : Jabar (Pelajar Kudus.com)