Jangan Pilah-Pilih Saat Bersedekah

Ilustrasi Jangan Pilah-Pilih Saat Bersedekah [Pelajarkudus/Ilham Azizi]

Oleh : Auvita Nayda

Sehabis selesai dari berziarah ke Raden Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus, Gus Faqoth memakai sandalnya di antara lalu lalang para peziarah. Sekarang sudah memasuki bulan Sya’ban. Memang, telah menjadi adat, jika menjelang Ramadhan, banyak orang dari berbagai kalangan menyempatkan diri untuk sowan ke Mbah Sunan.

Gus Faqoth melirik sana-sini. Di Tajug, beberapa peziarah yang berwajah asing alias non-Kudus sedang beristirahat. Di gapura utama menuju makam yang terletak di sebelah timur, banyak orang yang mengusapkan tangannya di bagian bawah gapura itu. Tentu saja itu hanya sebuah kebiasaan. Malah, kebiasaan itu sebetulnya tidak dianjurkan. Salah satu alasannya adalah karena membuat “kemacetan”.

Seringai kecil muncul di wajah Gus Faqoth. Dia jelas-jelas tahu tentang hal itu. Namun, karena sudah menjadi semacam “tradisi” yang mendarah daging, ia tidak mempermasalahkannya. Pernah satu-dua kali ia menegur salah seorang peziarah, tetapi malah disambut dengan dahi yang menekuk dan tatapan keberatan. Sejak saat itu, ia memakluminya. Toh, tidak terlalu masalah, bukan?

Karena tiba-tiba merasa haus, Gus Faqoth segera ngacir menuju tukang dawet favoritnya. Orang-orang asyik ber-swafoto di halaman sebelah selatan masjid, yang juga berada di sebelah barat Gapura Arya Penangsang. Kebanyakan para muda-mudi usia remaja yang sedang butuh konten untuk story Instagram atau status WhatsApp. Tak jarang juga para bapak-ibu ikut berpose agar tetap eksis di Facebook. Rupanya, manusia zaman sekarang terlalu ingin diperhatikan, ya.

Gerobak dawet itu terletak kurang lebih 150 meter di sebelah timur masjid. Dari kejauhan, lelaki paruh baya berjulukan Mbah Geter yang telah 20 tahun berjualan dawet itu sedang duduk bersama seorang bersetelan necis juga berambut klimis—yang saking licinnya, semut pun terpleset jika tak sengaja lewat.

Assalamu’alaikum, Mbah, Pak,” sapa Gus Faqoth hangat pada keduanya.

Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak.

Setunggal, nggeh, Mbah,” pesan Gus Faqoth; Satu, ya, Mbah.

Nggeh, Mas. Sekedap,” jawab Mbah Geter; Ya, Mas. Sebentar. Ia segera bangkit dan sibuk meracik di gerobaknya.

Setelah Gus Faqoth meletakkan pantatnya di kursi panjang sebelah bapak necis itu, ia menyodorkan tangan kanannya kepada si bapak. Hendak salaman, itu maksudnya. Namun, si bapak agak sedikit ragu-ragu, dan baru sepuluh detik kemudian ia meraih tangan Gus Faqoth.

Gus Faqoth menghela napas. Susah memang mengajak orang bersalaman di saat-saat pandemi seperti ini. Selain orang-orang sibuk mengenakan masker hingga sering kali menyebabkan salah sapa, sebuah paranoia akan salaman juga menjadi dampak dari persebaran virus yang tak terkendalikan ini. Sebenarnya, bersalaman memang tidak dianjurkan. Namun, karena si virus tak lagi “menghebohkan”, Gus Faqoth mulai mengajak orang-orang bersalaman. Setidaknya, itu akan membuat orang menjadi ramah. Soal mereka tak mau, itu urusan lain.

Karena merasa suasana hening, Gus Faqoth mulai mengajak si bapak necis itu berbincang. Basa-basi belaka sebenarnya. “Bapak asalnya mana?” “Anaknya sekolah di mana?” “Bapak kerja apa?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah. Ia memang suka bertanya. Jika ada hal yang menarik dari yang ditanya, biasanya ia akan tambah asyik ngobrolnya. Pernah suatu kali ia mengajukan pertanyaan yang tak cocok diutarakan oleh santri bersarung sepertinya kepada salah seorang pembeli dawet yang tampak intelek: “Memangnya si Elon-siapa-tadi-itu segila apa kok bisa kepikiran buat bikin kolono—eh, koloni—di Mars?”

Sayang seribu sayang, si bapak necis itu sepertinya sedang tidak berminat untuk bertukar kata. Mungkin suasana hatinya sedang buruk. Bisa jadi, istrinya minta anak lagi padahal rumah sudah sesak nan sumpek. Bisa jadi, ada alasan lain. Entahlah. Apa yang sedang berkecamuk di kepala manusia memang sulit ditebak. Dalam hati, Gus Faqoth mendoakan si bapak agar dimudahkan jalannya.

Pesanan es dawet khas Mbah Geter pun datang. Gus Faqoth menerimanya sembari mengucapkan terima kasih dengan bahasa Jawa alus. Matur suwun. Mbah Geter mengangguk dan pergi ke sebuah kios dekat sana karena ada yang memanggil. Setelah dawet diaduk, lantas Gus Faqoth menyerutupnya. “Alhamdulillah, segar sekali es dawet ini di tengah terik mentari,” batinnya.

Di tengah menikmati minuman pelipur dahaganya, Gus Faqoth melirik ke arah kanan. Tangan si bapak necis itu ber-krusak-krusuk di dalam kantong plastik hitam yang digantungkan pada sebuah paku di kursi. Matanya celingak-celinguk. “Kok rasa-rasanya si bapak sedang gelisah, ya,” batin Gus Faqoth.

“Isi plastik itu ada apanya, Pak?” tanya Gus Faqoth.

Si bapak sedikit kaget, lagi-lagi membutuhkan beberapa detik sebelum menjawab. “Ah, anu,” jawabnya ragu-ragu. “Ini baju bekas anak saya yang masih kecil, mau saya kasihkan ke bapak-bapak yang jual dawet itu.”

Gus Faqoth tersenyum lebar. “Wah, cocok itu, Pak. Kebetulan Mbah Geter punya anak yang—sepertinya—seumuran anak-anak SD. Alhamdulillah.”

Si bapak manggut-manggut. Sejenak, ia memandang Gus Faqoth dengan wajah penuh tanda tanya. “Eh, nama dia Mbah Geter, ya? Kok lucu begitu,” tanya si bapak.

Gus Faqoth seketika menggaruk-garuk tangannya. Salah tingkah. “Ahaha, iya, Pak. Saya dan teman-teman saya menjuluki mbah yang jualan dawet itu pakai nama Mbah Geter. Soalnya …, eh, itu coba dilihat sendiri, Pak,” balasnya sembari menunjuk Mbah Geter yang sedang meracik dawet untuk seorang ibu-ibu peziarah.

Mbah Geter memasukkan bahan-bahan dawet ke dalam sebuah gelas. Dawet, santan, susu kental manis, juga gula merah cair. Terakhir, ia menambahkan potongan buah nangka. Jika diperhatikan saksama, tangan Mbah Geter yang melakukan gerakan-gerakan “ciamik” tadi rupanya bergetar. Si bapak langsung tertawa ketika menyadarinya.

“Dasar bocah gemblung!” ucap si bapak sembari tertawa.

Gus Faqoth pun ikut tertawa.

Mbah Geter sendiri tidak pernah tahu kalau Gus Faqoth dan teman-temannya menyebutnya demikian. Ya, mau bagaimana lagi, mereka tidak tahu nama asli Mbah Geter. Sebetulnya, ada seorang temannya yang sempat menanyakan hal itu, tetapi ia sendiri tetap menyebut Mbah Geter dengan nama Mbah Geter. Agak kurang ajar memang.

“Ngomong-ngomong, Pak, boleh saya lihat baju yang Bapak bawa itu?” pinta Gus Faqoth setelah tawanya mereda. Ia mulai melanjutkan ramah-tamahnya.

Wajah si bapak sudah mulai mencair. Dengan senang hati ia menyerahkannya.

Gus Faqoth mengeluarkan sebuah baju dari bungkusan itu. Diamatinya lamat-lamat. “Sudah kuduga,” batinnya. Memang itu baju-baju “bekas” seperti yang dikatakan si bapak tadi, tetapi ternyata yang seperti itu sudah tidak layak jika diberikan kepada orang lain. Sudah banyak yang robek sana-sini. Berlubang di banyak tempat. Kalau bahasa Ayahnya, klambine wes kulu-kulu.

“Maaf, Pak. Memangnya kenapa baju ini mau disedekahkan?” selidik Gus Faqoth.

Si bapak tiba-tiba memasang wajah muram. “Anak saya meninggal dunia, Mas. Positif covid. Jadi barang-barangnya mau saya kasihkan ke panti asuhan dan orang-orang fakir-miskin.”

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga husnul khotimah, ya, Pak.” Gus Faqoth turut bersungkawa.

“Iya, Mas. Terima kasih.”

“Kalau boleh saya tahu, apa masih ada baju-baju anak bapak yang masih baru?” Gus Faqoth kembali ke topik utamanya.

Si bapak mengangguk. “Rencananya baju-baju yang itu mau saya donasikan ke panti asuhan besar yang terkenal itu.”

“Wah, salah ini,” batin Gus Faqoth. Ia tahu jalan pikir seperti ini. Mereka menyumbangkan barang-barang yang layak ke tempat besar, entah itu yayasan atau sebagainya, sedangkan barang-barang yang kurang layak mereka berikan kepada perorangan yang membutuhkan, seperti tukang becak, juga tukang dawet seperti ini. Memang tidak salah, tapi kurang pas, apalagi dengan kondisi yang seperti ini.

“Maaf, Pak. Kalau menurut saya, sebaiknya baju-baju yang seperti ini dimanfaatkan untuk hal lain. Kalau mau sedekah, kita hendaknya memberikan dengan barang yang bagus dan masih layak pakai,” terang Gus Faqoth.

“Memangnya kenapa?” tanya si bapak.

“Bukan apa-apa, Pak. Si penerima sedekah juga jika mendapat barang layak dan masih cantik pasti mereka bahagia, kan? Semakin bagus, si penerima pun semakin senang. Semakin mereka senang, semakin banyak pahala serta berkah yang kita peroleh. Jika kita memberikan barang yang kurang layak, bisa-bisa mereka kecewa karena mereka sudah menaruh harapan. Tahu-tahunya diberi barang yang tidak bisa dipakai, kan, sakit juga hatinya,” imbuh Gus Faqoth.

“Jadi, seharusnya yang saya kasihkan kepada mbah-mbah itu pakaian yang masih baru, ya?” tanya si bapak.

Gus Faqoth mengangguk ramah.

“Terus, bagaimana dengan baju-baju yang tidak layak?” tanyanya lagi.

“Barang-barang seperti itu bisa dimanfaatkan untuk diri sendiri, misalnya handuk bekas dijadikan gombal, dan sebagainya. Bapak tahu gombal, kan?”

“Yang buat ngelap gelas tumpah di lantai, kan?”

Gus Faqoth tertawa. “Iya, iya. Seperti itu, Pak.”

Setelah menimbang-nimbang sejenak, si bapak itu manggut-manggut sendiri. Lantas, ia berdiri dan menyalami Gus Faqoth hingga dinaik-turunkannya berkali-kali. Ia mendatangi Mbah Geter yang ada di dekat gerobak, meraih beberapa lembar uang di saku yang cukup banyak. Terakhir, ia menyerukan salam ke arah Gus Faqoth dan pergi menggunakan motor PCX-nya.

Setelah menandaskan isi gelasnya, Gus Faqoth ikut berdiri. “Mbah, niki artone,” ucapnya sembari menyodorkan uang pada Mbah Geter; Mbah, ini uangnya.

“Ah, mboten usah, Mas. Bapak wau sampun mbayaraken sampean,” ucap Mbah Geter; Ah, tidak perlu, Mas. Bapak tadi sudah membayarkan kamu.

Gus Faqoth tersenyum.

Beberapa hari setelahnya, saat Gus Faqoth mampir ke sana lagi, Mbah Geter bercerita bahwa satu hari setelah hari itu si bapak necis itu kembali dan memberikan beberapa baju gamis baru, satu kotak sarung mewah, dan sebuah peci hitam beludru. (*)

 

Disarikan dari keterangan K.H.S. Ahmad Abdul Basith bin Abdul Qodir bin Umar Basyir saat pengajian rutinan kitab Tafsir Jalalain di Desa Janggalan, Kudus, 20 Maret 2021.