Pelajarkudus – Hal-hal konflik memang selalu enak dibahas, lebih-lebih menjelang Kongres ke-XX IPNU yang akan dilaksanakan 14-17 Agustus 2022 mendatang. IPNU telah berusia setengah abad lebih dan hampir menginjak usia ke 70th.
Dengan usia yang cukup matang, tidak dipungkiri bahwa kader ataupun anggota IPNU di berbagai daerah telah menjadi masyarakat NU dan penerus NU di desa-desa, bahkan sampai ketingkat diatasnya.
Bila dilihat ataupun dihitung secara matematis, pengurus IPNU tahun 90an saat ini telah menjadi penggerak roda organisasi di NU, Muslimat di berbagai daerah, khususnya di Ranting/Desa.
IPNU dikatakan sebagai gerbang awal ataupun kaderisasi paling awal dalam tubuh NU, bila menilik sejarah kelahiran atau terbentuknya IPNU, pada tanggal 24 Februari 1954, tepat 68 tahun yang lalu organisasi dengan nama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) didirikan di Semarang. IPNU merupakan badan otonom NU untuk kalangan pelajar dan santri dengan usia maksimal 30 tahun. Kelahirannya diawali dengan tumbuhnya organisasi-organisasi yang bersifat local.
“Pada 11 Oktober 1936, putra-putra warga NU di Surabaya mendirikan perkumpulan bernama Tsamortul Mustafidin. Di kota yang sama, pada 1939 didirkan sebuah perkumpulan yang dinamakan Persatoean Santri NO (Persano). Sedangkan, di Malang lahir sebuah perkumpulan-perkumpulan bernama Persatoean Anak Moerid NO (PAMNO) pada 1941 dan Ikatan Moerid NO pada 1945.
Hal yang sama terjadi di Sumbawa dengan berdirinya Ijtimaul Tolabah NO (ITNO) pada 1946 yang memiliki tim sepak bola bernama Ikatan Sepak Bola Peladjar NO (ISPNO). Sedangkan di Madura pada 1945 didirikan sebuah perkumpulan bernama Syubbanui Muslimin.
Perkumpulan pelajar yang lahir pada masa revolusi kemerdekaan merupakan upaya dari kalangan pesantren untuk membantu perjuangan kemerdekaan. Sesuai revolusi fisik. Aktivitas organisasi-organisasi yang bersifat local tersebut mulai menurun. Namun, gagasan untuk menyatukannya dalam sebuah wadah bersama yang sifatnya nasional di bawah naungan NU justru semakin berkembang.
Beberapa embrio IPNU yang didirikan pada 1950-an di antaranya: Ikatan Siswa Muballighin NO (Iksimno) di Semarang (1952), Persatuan Peladjar NO (Perpeno) di Kediri (1953), Ikatan Peladjar Islam NO (IPINO) di Bangil (1953), Ikatan Pelajar NO (IPNO) di Medan (1954).
Gagasan pembentukan wadah tunggal di tingkat nasional kemudian disampaikan dalam Konferensi Besar LP Ma’arif NU pada Februari 1954 di Semarang. Para penyampai ide adalah para pelajar dari Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang yaitu M Softan Kholil, Mustahal, Ahmad Masyhud, dan Abdulghani Farida M. Uda. Akhirnya, pada 20 Jumadil Akhir 1373 H/24 Februari 1954 M, Konferensi Besar menyetujui beridirinya organisasi Ikatan Peladjar Nadhlatul Ulama (IPNU) dan mengangkat Mohammad Tolchah Mansoer yang saat itu tidak hadir sebagai Ketua Pimpinan Pusat.
Konferensi juga memutuskan bahwa IPNU berasaskan Ahlussunnah wal Jama’ah dan hanya beranggotakan putra saja yang berasal dari pesantren, madrasah, sekolah umum, serta perguruan tinggi. Tujuan IPNU adalah menegakkan dan menyiarkan agama Islam, meninggikan dan menyempurnakan pendidikan serta ajaran-ajaran Islam, dan menghimpun seluruh potensi pelajar Islam yang berpaham Aswaja tidak hanya mereka yang berasal dari sekolah-sekolah NU.
IPNU ketika didirikan adalah anak asuhan LP Ma’arif NU, baru pada Kongres IPNU ke-6 di Surabaya, IPNU menjadi badan otonom di bawah PBNU. Kongres IPNU pada 29 Januari hingga 1 Februari 1988 di Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar, Jombang, secara resmi mengubah asas organisasi IPNU-IPPNU menjadi Pancasila. Pada kongres ini, KH Abdurrahman Wahid juga mengusulkan penggabungan IPNU-IPPNU menjadi Ikatan Remaja Nahdlatul Ulama (IRNU). Usulan ini menjadi kontroversi sampai akhirnya disepakati bahwa keduanya dipisahkan. Tetapi tetap terjadi perubahan nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Putri-putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Dengan perubahan posisi sebagai organisasi pemuda, IPNU-IPPNU melangkah dalam wadah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
PBNU kemudian mengusulkan kembalinya IPNU dan IPPNU menjadi organisasi pelajar dalam Muktamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri (1999). Usulan tersebut baru secara resmi diputuskan dalam Kongres IPNU-IPPNU di Asrama Haji Sukolilo pada 2003. Inilah era baru kembalinya IPNU-IPPNU mnejadi organisasi pelajar yang merupakan khittahnya ketika didirikan”.
Bukan bermaksud menggurui, namun inilah sejarah yang sebenarnya terjadi. Tahun 1999 IPNU kembali ke pelajar dan kembali kejalur yang benar. Namun langkah IPNU untuk kembali ke pelajar terhalang oleh beberapa pihak yang masih sulit untuk diajak kerja sama, hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi IPNU, yang merupakan Badan Otonom NU termuda di antara Badan Otonom yang lain.
IPNU telah mengusahakan selama 23 tahun untuk kembali ke Pelajar. Namun, ada beberapa pihak yang masih belum mau bekerja sama untuk menyukseskan IPNU kembali ke khittahnya. Hal ini menjadi problematika tersendiri bagi IPNU, dan hal-hal yang diusulkan PBNU dalam Kongres memang benar adanya dan hal tersebut mengembalikan IPNU ke gerbong awalnya.
Namun, perlu diperhatikan kembali sudah kah IPNU dibantu secara maksimal dalam pengembalian Khittahnya ke Pelajar ? Pada kenyataannya dilapangan banyak pihak yang masih belum sependapat dengan PBNU mengenai hal ini. Bukan karena keinginan, akan tetapi persiapan dari PP IPNU dan dibantu oleh PBNU untuk menyukseskan hal ini masih terasa setengah-setengah.
Perihal ini pun yang menjadikan Kongres tahun ini menjadi keputusan final, bukan hal yang direkomendasikan PBNU terhadap IPNU akan tetapi tentang pengawalan PBNU terkait IPNU kembali ke sekolah, fakta dilapangan pun menjadi bukti bahwa beberapa lembaga Ma’arif NU yang seharusnya bisa membantu IPNU untuk kembali ke pelajar, malah terkesan acuh tak acuh dan mempersulit IPNU dalam pendirian Pimpinan Komisariat di sekolah dibawah naungan LP Ma’arif NU.
Penulis : JPW
Editor : Pelajar Kudus
Leave a Review