Sudan adalah negara yang terletak di timur laut benua Afrika, bertetangga dengan Mesir, Kongo, Afrika Tengah, Chad, dan Libya. Sudan juga memiliki sumber perairan yang bersejarah, yaitu Sungai Nil yang menjadi salah satu dari dua sungai terpanjang di Bumi, mengalir sepanjang 6.650 km dan membelah tak kurang dari sembilan negara yaitu: Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan, Sudan Selatan, dan tentu saja Mesir.
Negara Republik Sudan (Republik of The Sudan) ini memiiki ketinggian suhu mencapai 47 C di bulan Mei-Juli sehingga menjadikan negara ini disebut sebagai negara dengan dua matahari. Di tahun 2019 ini Bulan Ramadlan jatuh pada tanggal 05 Mei. Dengan suhu puncak yang mencapai 47 C ini tidak menjadikan penghalang bagi penduduk Negeri Sudan untuk tidak melakukan ibadah puasa. Inilah yang menjadikan sesuatu yang ketertarikan oleh penulis untuk diamati kebiasaan penduduk di Bulan Ramadlan di tengah-tengah suhu yang berbeda sekali dengan lingkungan penulis, Negara Indonesia.
Sesuatu yang menarik perhatian di pagi hari adalah sopir dan kondektur bus angkutan umum yang tetap bersabar mencari nafkah untuk keluarganya di tengah-tengah panasnya Sudan. Mereka mempunyai metode menarik dalam menghadapi suhu yang terus meninggi di setiap detiknya. Beberapa orang sopir yang diamati penulis mengenakan handuk atau sorban basah di kepalanya untuk menghasilkan rasa dingin dari terpaan angin yang mengenai handuk basah tersebut ketika bus berjalan. Karena pada umumnya bus angkutan umum di sudan tidak memiliki pendingin dan angin panas dari luar bus bisa menerobos masuk ke dalam. Beberapa orang kondektur juga memiliki metodi yang tak kalah menarik. Dia membawa botol berisi air yang tutupnya berlubang kecil-kecil. Botol tersebut digunakan untuk membasuh wajahnya ketika dirasa wajahnya merasa kepanasan dan digunakannya untuk berkumur ketika mulutnya merasa kekeringan.
Di siang hari dengan suhu yang memuncak setiap harinya banyak dari penduduk Sudan melaksanakan ibadah sholat Dhuhur di masjid dan dilanjutkan I’tikaf sampai waktu setelah ‘Ashar kira-kira jam 4-5 mereka pulang dari masjid. Hal ini dilakukan setelah mereka melaksanakan kegiatan sehari-harinya, setelah merasa terpanggang oleh matahari. Di sisi yang lain pula pengurus masjid mempersilahkan jama’ah melaksanakan I’tikaf dengan menyalakan semua mukayif (pendingin) dan kipas angin yang ada di masjid. guna menghasilkan suasana dingin di dalam masjid.
Berlanjut kepada sesutu yang paling menarik dari Negara Sudan yang hanya ada ketika bulan Ramadlan, yaitu Ifthar Jama’i, yang kemudian oleh warga negara Indonesia menyebutnya dengan Begal Ifthar. Mengapa disebut demikian? Karena tradisi ini dilakukan dengan cara memberhentikan setiap orang bahkan mobil dan bus yang melintas di jalan raya untuk mengajak dan mempersilahkan buka bersama di atas tikar yang telah disediakan di pinggiran jalan.
Ifthar Jama’i ini juga dilakukan di depan rumah penduduk. Siapapun yang melintas disapa dengan sapaan khas Sudan, Keif? Tamam?, kemudian dipersilahkan berbuka bersama di depan rumah dengan tikar yang cukup untuk menampung belasan orang. Hal yang sama terjadi di masjid-masjid Sudan. Sebagian dari aghniya’ memberikan menu berbuka di masjid dekat rumahnya sehingga orang-orang yang hendak berjama’ah sholat Maghrib bisa menyantap menu berbuka yang telah disediakan.
Menu yang disediakan oleh para pembegal pun bermacam-macam, makanan dan minuman khas Sudan tentunya. Diantaranya, fuul (kacang polong yang direbus dan dicampur bumbu khas Sudan), tho’miyah (kacang kabkabe yang digiling, dicampur bumbu kemudian digoreng), asidah (sejenis bubur yang rasanya masam dan dicampur dengan kuah taqaliyah), qurroshoh (adonan tepung yang digoreng, biasanya dimakan dengan kuah taqaliyah), ‘adas (kacang-kacangan yang direbus hingga hancur), sallathah (sayur-sayuran mentah yang dicampur cuka), madidah (sejenis bubur khas Sudan), dam’ah (gulai daging ayam, kambing atau sapi), ashir lemon (jus jeruk nipis), ashir manju (jus mangga), ashir abre (minuman khas Ramadlan), ashir burtuqol (jus jeruk).
Inilah tradisi Sudan yang dapat dinikmati oleh semua orang, baik warga negara Sudan sendiri maupun warga negara asing. Bagi warga negara asing tradisi ini merupakan pelajaran dan pengalaman yang setidaknya bisa ditiru atas dasar berlomba-lomba dalam kebaikan. Bukankah pahala orang yang memberi makan orang yang berbuka puasa itu seperti pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga?
Leave a Review