Aktualisasi Gusjigang Pada Mahasiswa Jaman Now


Sejak tujuh-puluhan sampai sekarang pembangunan karakter dan pembangunan bangsa (character and nation building) tidak banyak mendapati perhatian, khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan. Dunia pendidikan banyak dilontarkan tema-tema yang lebih praktis seperti menyiapkan lulusan siap pakai dan pendidikan berbasis kompetensi. Dengan kata lain, pendidikan cenderung dilihat hanya sebagai instrument untuk menyiapkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan aktivitas ekonomi. Dalam perspektif ini manusia hanya dipandang sebagai faktor produksi.[1]
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam kelas menengah yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di masyarakat. Bahkan di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling terdidik yang harus diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Adapun salah satu faktanya, mahasiswa menjadi pelopor terbentuknya organisasi terpelajar Budi Utomo.
Menurut esensinya, mahasiswa memiliki beberapa fungsi strategis. Pertama,penyampaian kebenaran (agent of control). Sebagai seseorang yang terdidik dengan ilmu yang mumpuni, maka menyebarkan kebaikan sebagai usaha untuk menuju perubahan yang lebih baik sudah menjadi kewajiban. Namun, tidak bisa dipungkiri mahasiswa sebagai contol perubahan terkadang juga kurang dapat mengontrol dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa. 
Kedua, mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Hampir tidak ada yang mengingkari bahwa sejarah perjalanan bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa. Periode sebelum kemerdekaan hingga awal kemerdekaan sampai era reformasi, mahasiswa mampu menampilkan dirinya sebagai agen perubahan (agent of social change) dan agen intelektual (agent of intellectual).[2]
Mahasiswa sudah terlanjur di kenal dalam masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, dan agen-agen lainnya. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus menyadari bahwa banyak hal di Negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap Negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus di interpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif.
Dalam lingkungan masyarakat, semisal di Desa Kedungsari yang menjadi bagian dari desa yang ada di Kota Kudus, keaktifan mahasiswa dalam lingkungan masyarakat sangat diharapkan. Sebagai seorang yang sudah dewasa dan berkompeten, mahasiswa dipercaya dapat memegang kendali untuk menertibkan dan memakmurkan sebuah desa. Hal itu terbukti ketika misalnya kalau ada acara 17 agustusan, seorang mahasiswa dipercaya dapat memeriahkan dan mensukseskan acara tersebut. Tidak hanya itu, dalam hal lain misalnya, kalau di Desa Kedungsari akan mengadakan sebuah pengajian maka mahasiswa diberikan amanat untuk memegang tanggungjawab penuh atas acara tersebut, mulai dari pencarian dana, merencanakan rangkaian acara sampai mensukseskan acara ketika berlangsung.[3]Maka, peranan mahasiswa dalam masyarakat menjadi hal yang vital
Ketiga, mahasiswa sebagai generasi penerus masa depan. Sebagai seseorang yang telah matang usianya, kritis daya pikirnya dan mempunyai segenap ilmu yang mumpuni, mahasiswa tepat sekali menjadi generasi penerus perjuangan bangsa dan sudah saatnya berkontribusi nyata untuk kebaikan Indonesia masa depan. Hal itu dapat dilakukan dengan mengasah keahlian dan spesialisasi di bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan social ketika telah terjun dalam masyarakat.
Sebagai seorang mahasiswa yang mempunyai tanggungjawab besar, yakni menjadi agen control social, agen control perubahan dan penerus generasi masa depan sudah seyogianya memiliki karakter baik untuk menjalankan segenap tanggungjawabnya dengan maksimal.Pembentukan karakter sangat diperlukan demi terciptanya masyarakat yang harmonis. Sebab bila seseorang telah kehilangan karakter baiknya, ia akan kehilangan sisi geniusnya dan kehadirannya di public kehilangan kebermanfaatan.
Seorang pendiri dan guru bangsa kita beliau K.H. Hasyim Asy’ari dalam karya klasiknya Adabul ‘Alim wal Muta’allimin: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan tidak akan dihitung kecuali disertai dengan perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Sebuah ajaran Sunan Kudus yang sarat dengan karakter baik dalam hal ini tepat sekali untuk dijadikan referensi dalam bermoral bagi generasi millennial yang sedang dilanda ‘sakit’ adalah Gusjigang.
Di Kudus, ada sebuah istilah yang dinisbatkan untuk masyarakat Kudus yang suka berdagang, yaitu istilah Gusjigang. Istilah dan filosofi Gusjigang (bagus, ngaji dan dagang) selama ini diyakini sebagian orang sebagai citra diri masyarakat Kudus. Filosofi ini merupakan warisan budaya yang konon dicetuskan oleh Sunan Kudus sebagai peletak dasar Kota Kudus. Gusjigang mengisyaratkan bahwa tapak laku Muslim itu haruslah bagus (baik), bisa mengaji dan pandai berdagang. Ada semacam integritas antara perilaku agama dan pekerjaan, yang ketiga hal tersebut tentu saja menjadi karakter bagi setiap manusia.[4]
Melihat berbagai fenomena aneh yang terjadi di kalangan remaja atau generasi millennial sedang darurat moral, maka diperlukan pencegahan segera agar perilaku yang nyeleneh tidak semakin membudaya. Generasi yang diharapkan Negara ini malah sibuk melakukan hal nyeleneh, berebutan viral dan menjadi sosialita. Generasi yang seharusnya meneruskan estafet perjuangan bangsa ini malah sibuk membudayakan hal negative yang memberikan dampak pada masyarakat melalui social media. Mahasiswa sebagai insan dewasa yang terdidik, terkhusus mahasiswa STAIN Kudus seyogianya mampu memberikan contoh dalam bersikap dan berkarakter dengan baik dengan menerapkan Gusjigang yang menjadi salah satu buah ajaran Sunan Kudus seorang Waliyullah di Kota Kudus.
Lance Morrow mengatakan, “Transmisi nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa peradaban tak selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot –kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan utama –kekuatan karakternya –kepada generasi barunya.”  Jelaslah, bahwa semakin rusaknya moral generasi bangsa semakin rusak pula tatanan masyarakat dan hilanglah keharmonisan dalam masyarakat.
Gusjigang yang merupakan gabungan dari beberapa makna menyimpan beberapa nilai karakter yang penting sekali untuk diterapkan pada setiap pribadi generasi masa kini terkhusus mahasiswa. Pertama, gus yang berarti bagus dalam hal akhlak. Jika pesan ini di aktualisasikan dalam lingkup mahasiswa, maka bagusnya akhlak mahasiswa adalah salah satunya dengan memiliki rasa tanggungjawab dengan ‘title mahasiswanya.’ Berdasarkan survey kepada beberapa mahasiswa terdapat mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) dan ketika diberi tugas hanya menggantungkan diri kepada teman; tidak mau bekerja sendiri. Jika hal ini dibiarkan terus berkelanjutan, maka untuk menciptakan generasi yang handal dan mandiri menjadi hal yang mustahil. Maka, salah satu ikhtiar untuk mencetak generasi yang mandiri adalah dengan menginternalisasikan nilai gus ini pada setiap pribadi.
Memiliki pikiran yang merdeka merupakan salah satu kriteria karakter baik yang harus dimiliki oleh mahasiswa masa kini. Semisal dalam membuat makalah, seharusnya seorang mahasiswa tidak menyalin semua kalimat yang terdapat dalam sebuah buku, karena itu sama saja dengan mengcopy paste. Seyogianya dalam membuat makalah seorang mahasiswa boleh mengambil teori dari seseorang yang ahli lalu dikembangkan dengan daya pikirnya sendiri. Selain melatih pikiran supaya ‘merdeka’ hal ini juga mentradisikan untuk mengasah daya pikir yang mandiri, kreatif dan inovatif.[5]
Kedua, ji yang bermakna ngaji. Ngaji yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya mengaji dalam agama saja, tetapi mengaji ilmu-ilmu umum yang merupakan manifestasi dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu bahasa, ekonomi, teknologi, sains, dan ilmu-ilmu lainnya. Jadi tidak perlu ada dikotomi ilmu karena sejatinya semuanya ilmu dari Allah yang seyogianya dipelajari.[6]Menjadi mahasiswa, khususnya di STAIN Kudus, banyak sekali ilmu agama dan ilmu umum yang dipelajari untuk setiap prodi. Maka ini menjadi kesempatan emas yang sebaiknya dimanfaatkan untuk sekaligus mempelajari ilmu-ilmu agama dan umum supaya pengetahuan makin berkembang dan mampu berkontribusi untuk kemajuan bangsa ini.
Ketiga, gang yang berarti dagang mempunyai maksud seyogianya menjadi seorang mahasiswa yang kreatif dalam berdagang; berlatih berwirausaha untuk mempersiapkan personal yang mandiri dan dapat membantu perekonomian Negara. Mahasiswa dapat memulai belajar berwirausaha sejak masih di bangku perkuliahan. Adapun beberapa usaha yang dijalankan oleh mayoritas mahasiswa adalah dengan menjadi reseller atau penjual. Dengan usaha ini, meski belum bisa menciptakan hal kreatif ciptaan sendiri, tetapi setidaknya sudah memulai belajar untuk berwirausaha. Karena untuk menciptakan hal besar harus dimulai dengan langkah-langkah sederhana.[7]Dengan usaha ini, setidaknya seorang mahasiswa dapat membuktikan bahwa mahasiswa tidak selalu meminta uang kepada orang tua saja, tetapi mahasiswa juga dapat memberikan untuk orang tua.  
Di tengah-tengah kita ada sebuah istilah “adat-istiadat”. Dalam bahasa Arab, artinya suatu kebiasaan (‘adah) yang diminta untuk diulang-ulang (isti’adah-wazan istif’al). Artinya, kebiasaan baik perlu upaya transformasi nilai secara terus menerus sehingga menjadi budaya suatu masyarakat. Prosesnya dari kebiasaan akan menjadi tradisi dan selanjutnya akan menjadi budaya, dan inilah modal paling mahal dalam membangun peradaban bangsa.[8] Mengetahui dan memahami sesuatu tanpa diamalkan dalam keseharian adalah sebuah kebodohan besar. Maka dari itu, setelah mengetahui poin penting ajaran karakter dalam Gusjigang langkah selanjutnya adalah dengan menerapkannya dalam keseharian dan menjadikannya sebuah kebiasaan.
Dengan mengimplementasikan karakter Gusjigang dalam diri seorang mahasiswa, terkhusus mahasiswa STAIN Kudus dapat menjadi langkah vital untuk menciptakan karakter agami, berbudi pekerti dan mandiri. Maka mahasiswa jaman now STAIN Kudus akan dapat menjadi referensi dalam bermoral untuk mahasiswa di seluruh Indonesia. Dengan begitu, terciptanya Negara yang damai dan berdaulat sudah bukan menjadi impian. 


[1] Ida I Dewa Gede Raka, Pembangunan Karakter dan Pembangunan Bangsa, Bandung: Institute Teknologi Bandung, Last Lecture, November, 2008, hal 8.
[2] Ali Ashgar dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI, Jakarta: Bumen Pustaka Emas,2013, hal 1.
[3] Noor Setia Budi, Wawancara  Pribadi, 13 November 2017.
[4] Ahmad Bahruddin, Spirit Gusjigang Kudus dan Tantangan Globalisasi Ekonomi, Jurnal Penelitian, Volume 9, Nomor 1, Februari 2015, hal 21.
[5] Nur Said, wawancara pribadi, 23 September 2017.
[6]Nur Said, Wawancara Pribadi, 23 September 2017.                                                                             
[7] Noor Faizah, W  awancara Pribadi, 13 November 2017.
[8]Muhammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, Jakarta: Penerbit Mizan, 2013,  hal 56.