Oleh : Aida Saskia Cahyani
Konspirasi-konspirasi mengenai Covid-19 yang masuk dan hidup ditengah-tengah masyarakat beragama menyebabakan masih tidak stabilnya kasus Covid-19 tiap harinya. Bukan hanya itu saja, konspirasi ini muncul ditambah dengan belum adanya literasi kesehatan di Indonesia, Sehingga hal ini menyebabakan ketidak patuhan mengenai protokol kesehatan yang merajarela.
Rendahnyapemahaman mengenai perotokol kesehatan wujud dari minimnya literasi kesehatan dan pemahaman-pemahaman mengenai konspirasi yang masuk, menjadi persoalan baru bagi Indonesia dengan besarnya keberagaman agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Agama Islam sendiri menekankan pentingnya ikhtiar dan berdoa. Adapun hasil akhirnya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Sikap berserah tadi sering berkaian dengan kepercayaan seorang insan terhadap takdir. Sayangnya takdir sering disalah artikan dengan sikap putus asa, menyerah dan tidak berusaha, sehingga disebut juga dengan fatalism.
Perkara ini seperti dalam ajaran Jabariyah bahwasanya manusia hanyalah wayang dalam pentas semesta. Dalang pertunjukannya adalah Tuhan. Segala yang terjadi pada wayang adalah kehendak Sang Dalang. Wayang tidak memiliki kemampuan untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Manusia beraliran ini menjadi malas, tidak kreatif, menyerah sebelum bertanding dan pasrah terhadap apapun juga. Dan yang lebih fatalnya lagi di masa pandemi ini seharusnya sebagai sebuah langkah untuk memperketat kepatuhan terhadap protokol kesehatan untuk menjaga diri dari terinfeksinya virus Covid-19. Tapi malah menjadikan kaum ini lengah dan tidak patuh sebab dalam kenyakinanya kematian ditentukan Allah tanpa adanya ikhtiar dari manusia itu dalam menjaga dirinya.
Awal tahun 2020 Indonesia dihebohkan dengan kedatangan virus SARS-CoV-2 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19, melalui penularan yang sangat mudah. Di awal kedatanganya, virus ini menuai banyak ragam pro dan kontra terkait keberadaanya dan dampak yang dibawaanya. Banyak orang-orang dari kalangan sains dan pemerintahan mempercayai keberadaan virus ini dan menyuarakanya secara luas ke masyarakat.
Namun, dari masyarakat kalangan awam sendiri yang masih banyak yang menganggap virus ini dari mulai tidak ada hingga ada, namun dampaknya tidak mematikan. Masyarakat awam yang menganggap seperti ini memiliki alasan beragam dalam menyikapinya karena dampak yang dibawanya membentur ekonomi mereka. Lebih dari itu, masyarakat seperti ini jika kita tinjau secara dalam mereka masih minim bahkan kurang dalam budaya literasi.
Literasi ini penting dalam menyikapi pandemi Covid 19 karena, literasi menjadi awal pijakan mereka dalam membangun stigma melihat virus Covid 19. Kemampuan literasi untuk menyikapi pandemi ini jika kita spesifikasikan menjadi literasi sains. Minimya literasi sains dikalangan masyarakat awam menimbulkan banyak argumen-argumen meremehkan mengenai munculnya Covid-19.
Adanya oknum-oknum yang memprovokasi soal ketidak patuhan dalam menjalankan protokol kesehatan ini juga yang memperparah keadaan dalam menekan kasus di negri ini dalam mengatasi virus Covid-19.
Peran media dalam menyuarakan religion fatalisme ini sangat penting untuk meredam orang orang yang terprovokasi dan menghentikan provokator-provokator yang menyuarakan bahwa virus Covid-19 adalah konspirasi.
Tak hanya itu menurut data yang saya baca tentang munculnya isu yang beredar di media massa bahwa Covid-19 sebagai teori konspirasi, membuat sebagian besar masyarakat mempercayai teori konspirasi dan cenderung mengabaikan keberadaan virus Covid-19. Salah satu contohnya yakni ADD (Aliansi Doktor Dunia) yang terdiri dari tujuh dokter yang mewakili Jerman, Belanda, Swedia, Irlandia, dan Inggris mengklaim bahwa virus Covid-19 adalah virus flu biasa dan tidak ada pandemi Covid-19. Tujuh dokter tersebut mengatakan bahwa lockdown diseluruh dunia harus diakhiri. Dengan tegas para ilmuan mematahkan teori tersebut dan menyatakan penyebab pandemi Covid-19 saat ini adalah virus SARS-CoV-2 bukan jenis virus influenza.
Beberapa negara yang tingkat terpaparnya Covid-19 tinggi seperti Italia dan China. Menurut data OSCN yang saya baca, saat ini Italia dinyatakan rendah kasus terinfeksi virus Covid-19 dan sudah bebas masker. Dimana dulunya dua negara ini merupakan negara dengan kasus Covid-19 terparah di Eropa bahkan terburuk di dunia.
Hal ini dibuktikan dengan Dekrit yang berlaku senin 28 Juli 2021 bahwa kementrian kesehatan Italia untuk pertama kalinya mengklasifikasikan 20 wilayah sebagai zona putih, yang berarti resiko rendah sesuai tingkat keparahan di negara tersebut.
Sedangkan di negara China menurut beberapa data yang sudah saya baca, mengalami kasus penurunan, hal itu dapat terjadi karena China menerapkan langkah dengan mengisolasi 56 juta penduduk disuatu wilayah terdampak, mereka juga membangun rumah sakit darurat dalam 10 hari. Tidak hanya itu seperti yang kita tahu bahwa China merupakan negara yang bisa bertindak secara cepat dalam menghadapi kasus Covid-19 ini dan didukung dengan maindset masyarakatnya bahwa masalah tersebut bisa teratasi dengan melangkah bersama anatara pemerintah dan masyarakat.
Bisa kita renungi bahwa negara-negara tesebut mayoritas bukanlah pemeluk agama Islam, namun mereka bisa menangani kasus Covid-19 dengan tindakan seperti itu. Padahal seperti yang kita tahu Islam mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, seharusnya dengan itu kita lebih bisa menekan lonjakan kasus Covid-19, tapi sayangnya kita belum bisa. Ternyata hal ini dipengaruhi olah faktor ketidak patuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Religion Fatalism ini muncul juga karena kurangnya masyarakat dalam literasi dasar tentang Covid-19. Seperti yang kita tahu masyarakat kewalahan dalam menyerap informasi, apalagi munculnya berita-berita yang membuat kecemasan individu. Maka dari itu literasi kesehatan sangat perlu untuk dikuasai masyarakat . Literasi kesehatan ini mendorong masyarakat untuk memilah dan menentukan informasi kesehatan yang harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya literasi kesehatan ini mampu memberikan pemahaman betapa pentingnya mematuhi protokol kesehatan untuk menjaga diri dari terinfeksi virus SARS-CoV-2.
Pentingnya literasi kesehatan ini juga mampu mencegah terjadinya religion fatalism. Religion fatalism ini terjadi karena minimnya kualitas pemahaman masyarakat Indonesia tentang literasi kesehatan. Sehingga peran health journalism sangat dibutuhkan dalam hal tersebut. Akibatnya muncul kebingungan ditengah-tengah masyarakat.
Seperti yang kita lihat di televisi atau di media sosial bahwa Indonesia sering mengalami kasus peningkatan Covid-19. Dari data yang saya baca peningkatan ini akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan, alasanya dari salah satu masyarakat menengah kebawah yakni tidak mendapatkan sosialisasi dan tidak takut terinfeksi virus SARS-CoV-19. Dari alasan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa di Indonesia ini minim literasi kesehatan khususnya di kalangan menengah kebawah.
Selanjutnya data yang saya peroleh menunjukan bahwa penduduk Indonesia 12.37% belum memakai masker serta 13.14% belum menjaga jarak dan tidak menghindari kerumunan. Rendahnya kesadaran tersebut masih jauh dibanding total jumlah penduduk Indonesia sejumlah 270.000.000 lebih jiwa.
Perihal literasi kesehatan ini, peran pemerintah sangatlah penting. Apalagi di era digitalisasi seperti sekarang ini, yang mana sebagian besar kesadaran masyarakat Indonesia sudah tinggi mengenai pemanfaatan digitalisasi. Kesadaran yang tinggi ini harus dibarengi dengan literasi, terlebih literasi kesehatan. Pentingnya literasi kesehatan ini harus menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang digitalisasi dalam menyikapi pandemi.
Harapan saya nantinya pemerintah bisa menyediakan wadah yang bisa membangun terbentuknya literasi kesehatan yang tidak hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah keatas tapi juga sampai ke masyarakat menengah kebawah.
*Penulis adalah Sekretaris Pelajarkudus.com
Leave a Review