Gusjigang merupakan falsafah budaya lokal ajaran Sunan Kudus beliau Syeh Ja’far Shodiq. Gusjigang sendiri merupakan gabungan dari beberapa makna yaitu Gus yang berarti bagus, Jiyang berarti pinter ngaji, dan Gang pinter dagang.
Pembelajaran yang didasarkan pada pendidikan islam menekankan pewarisan nilai falsafah Gusjigang yang meliputi spiritual, leadershipdan enterpreneurship. Pewarisan ini dimaksudkan agar santri dapat menerapkan semangat gusjigang dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujud kemantapan rohani spiritual, mental emosional dan kemapanan secara materi (Maharrmoyati, Suyahno, 2016: 164)
Gusjigang mengandung beberapa makna penting yaitu: Pertama, nilai karakter dari Gus; Bagus yang menyimpan makna untuk seyogianya menjadi santri yang memiliki nilai karakter yang baik; bagus akhlak, bagus karakter dan bagus sikapnya dalam hidup keseharian baik dalam lingkup pesantren maupun masyarakat.
Akhlak mulia: kata “Gus” yang bermakna bagus, yang dimaksudkan bagus akhlaknya atau pentingnya memiliki akhlak yang mulia (akhlak alkarimah) bagi setiap individu. Hal ini menyangkut akhlak kepada Allah Swt, Rasulullah, sesame manusia maupun kepada lingkungannya sebagaimana diajarkan dalam Islam. Akhlak dalam hal ini adalah manifestasi dari taqwa.
Kalau dibelakang gapuro pendopo Kabupaten Kudus terdapat kata-kata hikmah begitu indah dalam bahasa Jawa ; Lamun sira banter, aja ngelancangi; lamun sira landep, aja natoni; lamun siro mandi, aja matani(apabila anda bisa lebih kencang [memiliki kelebihan], janganlah mendahului [jangan meninggalkan yang dibelakang]; apabila anda memiliki ketajaman [senjata atau pikir], janganlah untuk menyakiti; apabila anda memiliki kesaktian,janganlah untuk membunuh); bisa jadi hal ini juga bagian dari kesadaran paradikmatik sesepuh dan masyarakat Kudus atas jiwa dan toleransi dan empati yang dimiliki oleh Sunan Kudus.
Begitu indah prinsip-prinsip hikmah yang terukir dihalaman pendapat kabupaten tersebut, namun sudahkah nilai-nilai moral tersebut karakter bagi para pemimpin-pemimpin kita sehingga masyarakat bisa meneladaninya? Karena itu akhlak mulia (bagus akhlak) terutama kasih sayang, empati dan toleransi adalah bagian dari core values Gusjigang yang patut jadi renungan bersama untuk generasi masa depan.
Kedua, nilai karakter selanjutnya adalah Ji; pinter ngaji yang menyimpan maksud sebaiknya dalam menjadi santri tidak hanya pintar mengaji agama saja, tetapi mengaji dalam segala ilmu pengetahuan yang merupakan manifestasi dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu sains, teknologi, bahasa dan ilmu-ilmu lainnya. Jadi, sebaiknya tidak usah ada dikotomi ilmu, karena sejatinya semua ilmu bersumber dari Allah. Maka menjadi santri mandiri masa kini seyogianya pandai mengaji agama dan mengaji ilmu pengetahuan.
Tradisi Ilmiah Kata “Ji” berasal dari kata “ngaji”(mengaji) yang biasanya dalam tradisi masyarakat Kudus ngajilebih dimaknai sebagai kegiatan menuntut ilmu yang diselenggarakan oleh kyai kampung di masjid, langgar atau musholla. Karena itu kegiatan mengaji selalu sarat dengan nilia-nilai spiritual keislaman baik pada tatan teoritis-tekstual maupun praktis-ritual. Kampung yang mereka biasanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman tersebut dengan tulus ikhlas tanpa biaya sama sekali alias gratis.
Kuatnya tradisi mengaji, hal ini tak lepas dari hubungan paradikmatik dengan Kanjeng Sunan Kudus sebagai figure teladn yang dikenl sebagai waliyyul’ilmy yaitu seorang wali yang memiliki kedalaman ilmu dan begitu perhatian dengan urusan-urusan keilmuan(ilmiah). Bahkan Sunan Kudus tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman untuk urusan akhirat saja, tetapi juga ilmu-ilmu yng dibutuhkan untuk kesejahteraan hidup di dunia. Hal ini bisa dicermati dengan keahlian Sunan Kudus dalam bidang pengobatan (medis) yang dikenal luas hingga negeri Arab sehingga mampu mengatasi wabah penyakit berbahaya yang pernah terjadi kala itu, karenannya pernah mendapat penghargaan dari Sang Amir (pemerintah) Arab, namun Sunan Kudus menolaknya.
Semua itu tak mungkin bisa dilakukan dengan baik kalau tidak dilandasi dengan dasar-dasar keilmuan yang tinggi, sikap kritis dan rasa ingin tahu yang kuat (sense of curiosity). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sunan Kudus tak sekedar mahir dalam ilmu agama tetapi ilmu-ilmu sosial dan sains sebagai mana dalam bidang sastra, budaya,medis dan juga militer.
Ketiga, nilai karakter terakhir adalah Gang; dagangadalah kerja keras, kreatif dan mandiri. Hal ini tercermin dari karakter yang dimiliki santri untuk selalu mengembangkan usaha. Nilai demokratis, kejujuran dan konsisten menjadi daya tarik masyarakat sekitar untuk belajar.
Enterpreneurship: Kata “gang” berarti dagang. Dagang adalah akar pembangunan semangat entrepreneurship(kewirausahaan) yang paling mendasar. Nilai utama dalam budaya wirausaha adalah kemandirian, kreatif dan inovatif. Kebangkitan Kudus sebagai kota industry juga tidak bisa dilepaskan dari rintisan industrialisasi di Kudus Kulon. Hal ini bisa dicermati dari banyaknya industri sejak zaman colonial bahkan sejak zaman Sunan Kudus. (Nur Said: 2015)
Tidak sulit untuk mengatakan bahwa tumbuhnya budaya dagang (saudagar) bagi masyarakat Kudus tak lepas dari figure kunci Sunan Kudus sebagai tokoh teladan yang dikenal juga sebagai wali saudagar.
B. Aktualisasi Gusjigang Dalam Kehidupan Santri Sehari-hari
Setiap mendengar kata santri, mayorittas orang selalu mengartikan dengan seseorang yang menetap disuatu tempat yakni pesantren. Padahal K.H. Mustafa Bisri berkata, “Santri bukanlah seseorang yang di menetap di pondok saja, tetapi siapapun yang berjiwa santri meskipun tidak mondok dia juga disebut dengan santri.”
Semakin berkembangnya zaman lengkap dengan tantangan social yang ada, seperti pergaulan yang semakin bebas, merosotnya moral, membuat para orangtua memilih jalan untuk menitipkan anaknya di pondok supaya dekat dengan didikan kyai sehingga terciptalah moral yang baik; menjadi anak yang tidak hanya cerdas tetapi juga santun dalam bermasyarakat.
Sunan Kudus dengan ajarannya yang sarat dengan nilai karakter yakni Gusjigang tepat sekali di ajarkan kepada santri pada setiap pondok pesantren. Karena gusjigang memadukan unsur kecerdasan Intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional yang seyogianya diaktualisasikan dalam kehidupan nyata santri sehari-hari.
Nilai karakter gus; bagus dapat diaktualisasikan dalam kehidupan santri dengan membudayakan bersikap baik; saling membantu teman dalam hal kebaikan semisal membantu mengerjakan tugas sekolah, membantu membersihkan pondok, saling toleransi dan saling menghargai perbedaan.
Selanjutnya, nilai karakter ji; ngaji dapat dimanifestasikan dalam kehidupan nyata santri dengan aktif ikut mengaji agama; Qur’an dan kitab-kitab klasik yang diajarkan pada setiap pondok. Juga mengaji umum; belajar ilmu sains, biologi, teknologi, bahasa, membiasakan tradisi keilmuan; membaca koran, buku, sampai majalah-majalah keagamaan supaya wawasan semakin berkembang.
Terkahir, nilai karakter gang; dagang dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata santri dengan menciptakan peluang usaha. Semisal jika santri ahli dalam menggambar atau kaligrafi, bisa membuka pemesanan atau menjualnya di pasar, selain santri pintar mengaji dia juga mempunyai pendapatan sendiri dan menjadi mandiri. Dengan begitu, santri akan berlatih berwirausaha untuk mempersiapkan personal yang mandiri dan dapat membantu perekonomian Negara. Sebuah solusi yang menarik, bukan? Dengan begitu, terciptanya Negara yang damai dan berdaulat sudah bukan menjadi impian.
Oleh: Roudhotun Jannah
*Dari berbagai referensi
Leave a Review