Pelajarkudus.com- Media sebagai penyampai informasi tentunya memegang peran penting pada negara demokrasi ini. Sebagai penyampai berbagai informasi dari pemerintah maupun masyarakat lainnya, industri media seharusnya di berikan hak kebebasannya. Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Pers merupakan aturan hukum yang seharusnya memberikan perlindungan kepada para buruh industri, tetapi pada realitanya kejadian seperti pemutusan hubungan kerja secara massal, ketidakpastian status kerja, dan beban kerja yang berlebih menjadi hal utama yang mencerminkan lemahnya implementasi aturan hukum industri media ini.
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 telah mengatur hak-hak pekerja media, tetapi di lapangan aturan ini tidak lebih sebagai aturan tertulis yang tidak ada aksi nyatanya. Perkembangan industri media di Indonesia menunjukkan ketimpangan nyata antara regulasi dan realitas yang dihadapi oleh buruh media. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 57 karyawan PT Andalas Cakra Televisi (ANTV) pada akhir 2024 menjadi contoh nyata. PHK ini dilakukan sebagai bagian dari strategi efisiensi dan penyesuaian model bisnis di tengah persaingan industri penyiaran yang semakin ketat akibat digitalisasi media. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang perlindungan hukum dan etika terhadap pekerja media yang terdampak.
Transformasi era digital memaksa jurnalis untuk menguasai berbagai keahlian sekaligus, seperti siaran, liputan, live report, penulisan berita audio dan online, bahkan menjadi redaktur dalam waktu bersamaan. Beban kerja yang meningkat ini tidak selalu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam hubungan industrial. Selain itu, data dari Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 menunjukkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih lemah. Tercatat sebanyak 321 kasus kekerasan terhadap 167 jurnalis sepanjang tahun 2024, di mana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan (44%) dan larangan pemberitaan (26%). Ini menunjukkan bahwa risiko seperti kekerasan fisik, intimidasi hukum, serangan digital, hingga tekanan ekonomi menjadi ancaman nyata bagi para pekerja media.
Dari perspektif etika, perusahaan media seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan profesionalisme. Namun, kenyataannya, banyak perusahaan yang lebih mengutamakan efisiensi bisnis daripada kesejahteraan karyawannya. Hal ini bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti penguatan regulasi oleh pemerintah untuk memperkuat dan menegakkan hukum yang melindungi hak-hak buruh media, termasuk dalam hal PHK dan kompensasi yang adil. Selain itu, peningkatan kesadaran etika oleh perusahaan media harus lebih menginternalisasi nilai-nilai etika dalam operasional dan memastikan bahwa keputusan bisnis tidak akan merugikan karyawan.
Melihat berbagai realitas yang terjadi, kondisi buruh media di Indonesia masih berada dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum dan lemahnya etika perusahaan. Regulasi yang ada belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan yang dihadapi para pekerja media, terutama di era digitalisasi yang mengubah struktur dan dinamika kerja secara drastis. Kasus-kasus seperti PHK massal di ANTV dan perlakuan tidak adil terhadap jurnalis menunjukkan bahwa perlindungan terhadap buruh media bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal komitmen moral dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, pemerintah, perusahaan media, organisasi profesi, dan pekerja itu sendiri perlu untuk bekerjasama agar dapat menciptakan industri media yang tidak hanya bebas dan profesional, tetapi juga adil dan berkeadaban bagi semua pelaku di dalamnya.
Penulis : Anjar Naili Mazaya
Sumber referensi : https://rejogja.republika.co.id/berita/suqy1a291/menerawang-nasib-buruh-media-di-indonesia
Leave a Review