Pelajarkudus.com– Dalam sebuah negara dengan latar belakang budaya dan agama yang begitu beragam seperti Indonesia, sekolah menjadi tempat pertama di mana anak-anak belajar hidup berdampingan dalam perbedaan. Selain fungsi utamanya sebagai institusi pendidikan, sekolah juga berperan penting sebagai ruang sosial yang menanamkan nilai-nilai multikultural sejak dini. Di dalam kelas, siswa dari berbagai latar belakang suku, agama, maupun budaya bertemu dan saling mengenal satu sama lain. Dari interaksi inilah toleransi mulai tumbuh, bukan dari teori, tetapi dari pengalaman langsung.
Pendidikan multikultural di sekolah tidak hanya penting, tetapi menjadi urgensi. Nilai-nilai ini tercermin dalam praktik sehari-hari, seperti siswa yang bergotong royong membersihkan kelas, berbagi makanan saat acara sekolah, atau saling menghormati ketika teman sekelas merayakan hari besar agama mereka masing-masing. Ruang kelas menjadi cerminan nyata semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” _berbeda-beda tetapi tetap satu.
Peluang ini semakin diperkuat melalui penerapan Kurikulum Merdeka, yang dirancang untuk memberi ruang untuk penguatan karakter melalui ”Profil Pelajar Pancasila”. Dalam profil tersebut, nilai-nilai seperti keberagaman global, gotong royong, dan berpikir kritis menjadi pilar pendidikan karakter. Siswa diajak tidak hanya mengenal budayanya sendiri, tetapi juga terbuka terhadap budaya orang lain, sehingga tumbuh sikap saling menghargai dan empati yang mendalam (Kemendikbudristek, 2022).

Namun, di balik potensi besar sekolah dalam membentuk generasi toleran, realitas di lapangan masih menyisakan tantangan. Masih ada praktik diskriminatif, baik dalam bentuk stereotip maupun perundungan terhadap siswa dari latar belakang minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan multikultural bukan sekadar materi tambahan, tetapi perlu diinternalisasi dalam cara berpikir dan bertindak seluruh warga sekolah. Guru memegang peran sentral sebagai panutan yang memperlakukan siswa secara adil dan setara, tidak hanya sebagai pengirim materi pelajaran semata.
Pakar pendidikan Banks (2009) menegaskan bahwa pendidikan multikultural bukan sekadar menyisipkan tema keberagaman ke dalam kurikulum, tetapi harus menyentuh seluruh aspek pendidikan, mulai dari struktur sekolah, kebijakan, hingga relasi sosial di antara siswa. Sementara itu, Nieto (2000) menekankan bahwa keberhasilan pendidikan multikultural sangat bergantung pada keberanian dan keteladanan guru dalam menciptakan ruang aman dan inklusif bagi semua peserta didik.
Mendorong sekolah sebagai ruang multikultural berarti menjadikannya tempat yang tidak hanya mengajarkan perbedaan, tetapi juga merayakan dan merawat perbedaan tersebut. Dalam konteks sosial yang belakangan ini rentan terpolarisasi, pendidikan yang menghargai keberagaman menjadi semakin relevan. Sekolah dengan seluruh komponennya memiliki peluang besar untuk menumbuhkan generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga matang secara sosial dan berjiwa inklusif.
Referensi :
- Banks, J. A. (2009). Multicultural education: Issues and perspectives (7th ed.). John Wiley & Sons.
- Nieto, S. (2000). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education (3rd ed.). Longman.
- Kemendikbudristek. (2022). Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Retrieved from https://kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id.
Penulis : adindaaaaf_
Editor : Umi Ume
Leave a Review