Kelelahan Masyarakat Hadapi Kebijakan, Sampai Krisis Kepercayaan

sumber: ayobandung

Pelajar Kudus – Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani Covid-19 dinilai semakin turun. Fenomena ini dibuktikan oleh survei opini publik Indo Barometer pada 10-16 Maret 2020 yang menanyakan soal keyakinan mereka atas kemampuan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia. Hasilnya, 64,3% publik yakin pemerintah Indonesia mampu menangani pandemi Covid-19, sementara 35,7% responden lainnya menyatakan sebaliknya.

Krisis kepercayaan masyarakat muncul disebabkan kebijakan pembatasan mobilitas yang berganti-ganti dari mulai PSBB hingga PPKM. Tak hanya itu, krisis kepercayan masyarakat juga disebabkan tidak adanya langkah konkrit untuk mengatasi dampak ekonomi dari berlakunya kebijakan tersebut.

Namun, menurut Mentri Keuangan RI Sri Mulyani, dirinya mengaku bahwa pemerintah telah memberikan Bantuan Produktif Untuk Usaha Mikro (BPUM), dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,6 triliun yang akan disalurkan kepada 3 juta UMKM, dengan 1,2 juta setiap penerima.

Bukan hanya itu, menurut Ilmu psikologi sosial kesehatan menjelaskan, ketidak patuhanan masyarakat terhadap protokol kesehatan sebagian besar terjadi karena kurangnya pemahaman  terhadap bahaya virus Covid-19 dan penanganan, serta besarnya hambatan dalam akses kesehatan.

Pemerintah juga dinilai belum optimal dalam membangun kesadaran masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Bahkan para pejabat pemerintah juga mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda. Padahal keadaan darurat membutuhkan komunikasi yang komperhensif dan konsisten. Hal ini yang membuat lonjakan kasus Covid 19.

Upaya lain pemerintah selain membatasi gerak masyarakat

Langkah vaksinisasi baru-baru ini, digadang-gadang bisa meredam lonjakan kasus. Namun belakangan ini malah sering muncul lonjakan dan rekor kasus baru. Berdasarkan itu, pemerintah melalui jumpa pers Presiden RI Joko Widodo memutuskan untuk menerapkan PPKM darurat  mulai 3 Juli sampai 20 Juli 2021.

Dimana PPKM Darurat lebih ketat dari PPKM sebelumnya. Penerapan PPKM ini menunjukan bahwa vaksinasi sepenuhnya belum menunjukan hasil yang maksimal.

Belum lagi, sebagian masyarakat tak percaya dengan vaksinasi Covid-19, karena isu yang berkembang bahwa vaksin Covid-19 mengandung alat pelacak yang disebut dengan microchip. Isunya microchip ini diimplan pada tubuh manusia melalui injeksi vaksin Covid-19.

Isu terkait vaksin ini mempertanyakan efektivitas vaksin. Padahal, pemerintah sudah berkali-kali membantah, namun tetap saja menjadi suatu hal yang kembali muncul sebagai opini publik. Melalui, Mentri BUMN Eric Thohir, dirinya juga sudah membantah terkait isu microchip tersebut dan menyatakan bahwa vaksin hanya mengandung virus yang telah di matikan (Inactivade).

Dikutip dari CNN Indonesia, teori konspirasi microchip pada vaksin Covid-19 dimulai pertama kali pada Maret 2020 yang ramai dikaitkan dengan Bill Gates. Ia dituding sebagai dalang dalam kasus ini dengan menyisipkan microchip pada vaksin Covid 19.

Menurut Defense Advanced Reseacrh Projects Agency (DARPA) penelitian dibawah naungan Pentagon, bahwa microchip ditanam dibawah kulit melalui gel seperti tisu. Berdasarkan isu tersebut banyak orang yang khawatir vaksin Covid-19 dirancang untuk memantau penerimanya.

Sampai saat ini belum ada edukasi lebih dari pemerintah untuk menghapus isu yang berkembang di masyarakat. Sudah seharusnya pemerintah memiliki campur tangan lebih dalam mengatasi isu tersebut.

Dengan adanya PPKM darurat ini memberi batas gerak pemerintah kepada masyarakat tentang edukasi vaksin yang tidak merata sampai bawah, yang seharusnya pemerintahan punya andil lebih besar.

Salah satu edukasi pemerintah yakni masyarakat diminta kooperatif mengikuti anjuran dan himbauan, baik itu dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19 maupun pelaksanaan vaksinasi.

Selain edukasi vaksinasi, pemerintah tetap menghimbau untuk tetap menerapkan prokes serta memberi himbauan pentingnya vaksin untuk menurunkan angka kematian akibat Covid-19, dan  memicu sistem imunitas tubuh untuk melawan virus Covid-19.

Menyoal kebijakan vaksinasi di Indonesia

AstraZeneca dan Sinovac merupakakn dua vaksin yang sudah digunakan di Indonesia. Penelitian menyebutkan, dari segi efektivitas bahwa efikasi AstraZeneca mencapai 76%, berbanding 56-65% milik Sinovac. Bisa dilihat bahwa Sinovac terbukti mampu menurunkan risiko munculnya gejala berat Covid-19.

Selain itu, isu tentang efek samping setelah melakukan vaksinisasi menambah rasa ketakutan masyarakat. Dilansir dari merdeka.com gejala ringan yang kerap dirasakan setelah disuntik vaksin seperti; demam, lelah, mengantuk mual dan lapar. Menurut Satgas penanganan Covid-19, sejauh ini belum ada efek berbahaya dari suntikan vaksin Covid 19 dan Gejala tersebut akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan.

Adapun efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca berdasarkan laporan WHO seperti nyeri, kemerah–merahan, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, mual ,menggigil, demam, nyeri sendi, dan merasa kurang sehat. Dokter spesialis dalam, Ari Fahrial Syam mengungkapkan, bahwa efek vaksin astraZeneca yang timbul merupakan hal yang wajar (CNN Indonersia).

Vaksin Covid-19 AstraZenca sendiri merupakan vaksin buatan perusahaan farmasi asal inggris yang berkolaborasi dengan Oxford University.

Vaksinasi Covid-19 ini penting untuk menurunkan risiko panjang kematian. Sebab, orangnya belum divaksin tidak memiliki zat atau subtansi yang berfungsi membantu tubuh melawan penyakit tertentu dan virus Covid-19. Tubuh yang sudah divaksin akan membentuk antibodi terhadap virus Covid-19.

 

Penulis: Aida Saskia Cahyani

Editor: Khasan Sumarhadi