Refleksi Ilmu Tasawuf, Corak Keberagaamaan Masa Kini

Dok: Youtube Channel 'Official Menara Kudus'

Pelajar Kudus – Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ Kudus KH. Sa’aduddin Annasih menegaskan Ahlul Quran adalah orang yang tahu isi Al Quran dan mengamalkan meskipun ia tidak hafal. Sebaliknya, orang yang tidak tahu isi Quran, dan tidak mengamalkan, tetapi ia hafal maka belum dikatakan Ahlul Qur’an.

Dalam maqolah “jadikanlah membaca Al Quran sekaligus mengamalkan isi Al Quran,” yang dijabarkan oleh Sahabat Abdullah bin Mas’ud yang di nuqil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memiliki arti, bahwa semua yang ada didalam Al Quran harus diketahui orang muslim. Sebab Allah membuat aturan dipublikasikan melalui ayat-ayat Al Qur’an.

“Peran sahabat hingga ulama menjelaskan, apa yang menjadi isi Al Quran diperinci melalui disiplin Ilmu Fiqih, Akidah dan Tasawwuf sebagai bentuk representasi dari isi Al Quran,” Imbuhnya.

Lebih lanjut, Gus Nasikh sapaan akrabnya saat mauidhoh hasanah di Gedung Menara, Sabtu (17/04), memaparkan corak keberagamaan Indonesia mulai mengalami pergeseran dari maksud turunnya Al Quran. Dengan indikator kebaikan adalah apa yang nampak dari ritual ibadah yang dilakukan. Misal, masyarakat perdesaan masih rajin berjamaah, tadarus.

“Penafsiran secara tematik dan faktual QS. Al Baqarah 204-205, zaman sekarang ini kita sering melihat masyarakat Muslim memiliki tolak ukur baik hanya melalui ritual ibadahnya. Padahal banyak diantara kita rajin ibadah, justru menjadi musuh-musuh Allah. Mereka berpaling dari tempat ibadah, mereka merusak tanaman, merusak keturunan. Padahal Allah tidak suka orang berbuat kerusakan,” tegasnya lebih.

Dari permaslahan tersebut, muncul tolak ukur umat islam yang tidak melulu sisi ritual ibadah, tetapi juga kemampuan islahul mujtama (membangun relasi sosial dengan baik).

“Allah memahami manusia adalah makhluk sosial, tidak akan dapat hidup sendirian. Dengan ini Allah membuat aturan supaya manusia mempunyai karakter baik sehingga bisa mencapai ishlahul mujtama’,” jelasnya.

Kiai yang juga Wakil Direktur Aswaja Center Kudus ini mengungkapkan bahwa, diturunkannya Al Qur’an ke bumi sudah memuat solusi-solusi kehidupan. Seperti solusi mencapai ishlahul mujtama’, dengan prinsip kemanusiaan, prinsip persaudaraan antar agama dan prinsip permusyawaratan.

“Al Qur’an menawarkan beberapa solusi untuk mencapai ish’lahul mujtama’. pertama prinsip bagaimana cara memanusiakan manusia tanpa melihat latar belakang agama. Terlebih kita hidup di Negara plural, sehingga bisa saling menghormati, saling menjaga kerukunan” contohnya.

Disela – sela, Gus Nasikh menceritakan tragedi kemanusiaan tentang perbedaan madzhab. Sebab tidak bisa membangun relasi sosial yang baik antara pengikut Hanbali dan Hanafi. Akhirnya Allah memunculkan Syaikh Abdul Qodir Al Jilani sebagai ulama dengan ilmu Tasawwuf-nya untuk merubah dan memperbarui corak keberagamaan yang terjadi,” terangnya.

Melanjutkan solusi Al Qur’an mengenai ish’lahul mujtama’, Ketua LDNU Kudus ini menerangkan prinsip kedua tentang persaudaraan antar sesama agama yang lebih spesifik dari prinsip pertama.

“Jika ada orang islam yang bertengkar karena perbedaaan furu’iyyah, sangat disayangkan, apalagi perbedaan politik yang sering terjadi,”tegasnya.

Mengutip potongan Novel Karya Khalil Gibran (Al-Ajnihah al-Mutakasiroh) yang berbunyi “antara apa yang dituju oleh hati tapi tidak terucap, dan apa yang diucapkan lisan tetapi tidak tertuju oleh hati, disinilah akan ada kasih sayang yang sia-sia”, ia menegaskan pentingnya membangun pola komunikasi baik.

“Terlebih media sekarang rawan terjadi provokasi. Jangan sampai kita terprovokasi dengan yang mengatas namakan agama,” pesannya.

Mengakhiri mauidoh khasanah, beliau memberi solusi terakhir dari Al Qur’an yakni Prinsip Permusyawaratan, karena semua manusia lemah jika berdiri sendiri, dan akan kuat jika bersatu.

“Ketika apapun di musyawarahkan yang didalam musyawarah memuat usaha membangun relasi sosial, maka kita akan kuat,” sarannya.

Sebagai penutup, beliau menggarisbawahi bahwa problem kita adalah moralitas bukan intelektualitas. Sudah seharusnya kita sadar bahwa Tasawuf sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang damai.

“Maka, kita harus senantiasa belajar Tasawuf supaya bisa menciptakan kehidupan yang damai,” pungkasnya.

 

Reporter : Alfiyan Muna

Editor : Khasan Sumarhadi