Demam musik K-pop asal Korea Selatan, kini tengah melanda banyak perhatian para remaja di seluruh dunia. Bukan cuma di negara-negara Asia, popularitas K-pop bahkan sudah diakui hingga kancah internasional. Banyak dari orang tua merasakan sendiri, anak remaja sekarang yang sangat menggilai artis asal Korea Selatan tersebut.
Visual yang menarik serta musik yang enak didengar menjadi salah satu alasan mengapa jumlah penggemar musik K-Pop ini kian menjamur. Di Indonesia sendiri, sebagian besar penggemar K-Pop adalah kaum remaja.
Psikolog Klinis Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Nanda Rossalia, M.Psi (Staright News Republika.co.id) menjelaskan, bahwa salah satu alasan banyak remaja menggemari Idol K-Pop lantaran munculnya perasaan dekat kepada sang idola, meski itu hanya sebatas di media sosial. Bagi Nanda, perasaan yang dirasakan oleh para remaja terhadap idolanya itu pun berkembang menjadi hubungan parasosial, yakni suatu hubungan antara seseorang dengan figur yang ada di layar. Terlebih, para idola K-Pop membangun kedekatan dengan para penggemar mereka, misalnya melakukan siaran langsung di media sosial dan ini disambut positif oleh penggemar.
Hubungan parasional itulah yang membuat anak muda banyak merasa FOMO setiap ada event K-pop. Pada jaman sekarang, banyak sekali remaja yang merasakan FOMO, hal itu memberikan pengaruh besar kepada generasi sekarang.
FOMO sendiri merupakan akronim dari Fear Of Missing Out atau rasa takut ketinggalan. Istilah ini merujuk pada respon emosional ketika seseorang merasa akan kehilangan kesempatan atau pengalaman berharga yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kasus K-pop ini, orang-orang yang FOMO merasa dirinya tertinggal apabila tidak ikut menyaksikan seperti kebanyakan penggemar.
FOMO sering menyebabkan perasaan tidak nyaman, ketidakpuasan, depresi, dan stres. Istilah FOMO pertama kali digunakan oleh Patrick James Mc Ginnis yang merupakan seorang pemodal ventura dan penulis di Amerika. Ia mempopulerkan istilah FOMO melalui op-ed pada tahun 2004 di The Harbus Majalah, dengan judul “Mc.Ginnis’ Two Fos : Social Theory at HBS”, yang mana majalah ini berasal dari Harvard Bussiness School. Perkembangan dunia digital dan media sosial telah meningkatkan penggunaan istilah ini selama beberapa tahun terakhir.
Mengapa Orang Bisa FOMO ?
Penyebab FOMO tak lain adalah media sosial. Meskipun media sosial banyak memberi informasi, kehadirannya bisa membuat kita kecanduan untuk menonton hidup orang lain dan terobsesi untuk melakukan hal yang sama. Padahal, setiap orang memiliki keadaan finansial dan gaya hidup yang berbeda. Apalagi di era sekarang ini banyak sekali tren dan konser K-pop yang membuat orang tidak ingin ketinggalan mengikuti tren K-pop dan konser K-pop yang diadakan secara besar-besaran dengan biaya yang fantastis.
Akibat rasa FOMO tersebut dapat menyebabkan rasa insecure yang berlebihan, bertindak implusif, dan dapat menghambat produktifitas sehari hari.
Meskipun banyak efek negatifnya, Namun FOMO sendiri dapat diatasi dengan Joy of Missing Out atau kerap disebut JOMO. JOMO sendiri merupakan mereka yang tidak terganggu dengan unggahan orang lain di media sosial. Bahkan, mereka memilih untuk menonaktifkan media sosial atau berselancar di dunia maya secukupnya. JOMO membuat manusia lebih menghargai apa yang ia peroleh di masa sekarang dan menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat.
Selain itu, kita juga harus selalu fokus melakukan pengembangan diri dan lebih menghargai diri sendiri. Menggemari K-pop tidaklah salah, tetapi hal tersebut jangan sampai menjadi prioritas dan membuat kita lupa akan diri sendiri.
Penulis: Maulida
Editor: Himma
Leave a Review