Pelajar Kudus – Virus Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan fisik saja. Lebih dari itu, tak banyak orang sadar ternyata pandemi yang disebabkan coronavirus disease ini juga berpengaruh terhadap kesehatan mental yang diindikasi melalui perubahan emosi dasar.
Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stress, kehidupan yang wajar untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan di komunitasnya.
Selain itu, pandemi juga membuat banyak orang menjadi lebih cemas dari biasanya. Bahkan menjadi penyebab sumber stres baru bagi masyarakat dunia saat ini. Sumber stres baru ini muncul akibat adanya ketakutan akan kesehatan diri sendiri dan orang-orang yang disayangi, ketidakjelasan akan pekerjaannya, adanya perubahan pola makan dan tidur, serta peningkatan penggunaan rokok dan alcohol.
Steven Taylor, penulis The Psychology of Pandemics, sekaligus profesor psikiatri di University of British Columbia, berpendapat bahwa “10 hingga 15 persen minoritas yang malang, hidup mereka tidak akan kembali normal, walaupun pandemi telah berlalu”
Keadan ini juga berdampak terhadap kondisi psikologis pelajar, Mengutip dari jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Sebanyak 30% mahasiswa/pelajar mengalami kesehatan mental yang buruk.
Pada responden Laki-laki, ditemukan sebanyak 28% dari 25 responden mengalami gangguan mental, sedangkan pada wanita, sebesar 31% dari 98 responden mengalami gangguan mental akibat tugas menumpuk dan tekanan dari lingkungan sekitar selama belajar.
Fakta lain mengenai kesehatan mental yang dikatakan oleh kelompok spesialis kesehatan masyarakat di Inggris, memperingatkan dalam British Medical Journal bahwa, “Dampak pandemi terhadap kesehatan mental kemungkinan akan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan fisik”.
“Dampak Covid-19 tidak hanya terlihat secara fisik, tetapi juga dikelilingi oleh rasa sakit, kematian, dan isolasi. Krisis ini berdampak besar pada kesehatan mental orang,” kata NV Ashwini, pendiri lembaga amal Muktha Foundation yang berbasis di Bangalore.
Gejala gangguan mental dampak dari pandemi
Strategi untuk meminimalkan angka penyebaran virus seperti karantina juga berdampak negative terhadap kesehatan mental, seperti gejala stres pascatrauma, depresi dan insomnia. Kehilangan pekerjaan dan kesulitan finansial selama penurunan ekonomi global juga dikaitkan dengan penurunan kesehatan mental yang berkepanjangan.
“Secara historis, dampak buruk bencana pada kesehatan mental mempengaruhi lebih banyak orang, dan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan,” kata Joshua C Morganstein, asisten direktur di Pusat Studi Stres Traumatis di Maryland, AS.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melalui survei yang telah mereka lakukan mengenai kesehatan mental dengan swaperiksa secara daring. Hasil survei menunjukkan, sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% responden mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Gejala cemas utama adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks.
Sementara gejala depresi utama yang sering muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Lebih lanjut, sebanyak 80% responden memiliki gejala stres pascatrauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19.
Sementara itu, gejala stres pascatrauma yang menonjol yaitu merasa berjarak dan terpisah dari orang lain serta merasa terus waspada, berhati-hati, dan berjaga-jaga.
Faktor risiko kesehatan mental akibat pandemi Covid-19
Mengutip dari jurnal puslit.dpr.co.id yang berjudul “Permasalahan Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19” mengungkapkan bahwa penyebab depresi secara umum terdapat empat faktor risiko utama yang diakibatkan oleh pandemic Covid-19.
Faktor pertama, jarak dan isolasi sosial. Ketakutan akan Covid-19 menciptakan tekanan emosional yang serius. Rasa keterasingan akibat adanya perintah jaga jarak telah mengganggu kehidupan banyak orang dan mempengaruhi kondisi kesehatan mental mereka, seperti depresi dan bunuh diri.
Kedua, Pandemi Covid-19 telah memicu krisis ekonomi global yang kemungkinan akan meningkatkan risiko bunuh diri terkait dengan pengangguran dan tekanan ekonomi. Perasaan ketidakpastian, putus asa, dan tidak berharga meningkatkan angka bunuh diri.
Menurut Kompas.com berdasarkan data dari BPS, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 2,14 juta tenaga kerja formal dan informal terdampak pandemi Covid-19. Banyak pakar menilai kemungkinan Indonesia masuk ke jurang resesi pada Kuartal III dengan melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurun drastis hingga minus 5,32% pada Kuartal II.
Ketiga, stres dan trauma pada tenaga kesehatan. Penyedia layanan kesehatan berada pada risiko kesehatan mental yang makin tinggi selama pandemi Covid-19. Sumber stres mencakup stres yang ekstrim, takut akan penyakit, perasaan tidak berdaya, dan trauma karena menyaksikan pasien Covid-19 meninggal sendirian. Sumber stres ini memicu risiko bunuh diri tenaga kesehatan.
Melalui survei yang dilakukan oleh peneliti Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan UI bersama dengan Divisi Penelitian Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) terhadap 2.132 perawat dari seluruh Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari separuh tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan depresi, bahkan ada yang berpikir untuk bunuh diri.
Keempat, stigma dan diskriminasi. Stigma Covid-19 dapat memicu kasus bunuh diri di seluruh dunia. stigma dan diskriminasi dialami secara nyata, terutama oleh tenaga kesehatan. Bentuk stigma yang dialami antara lain berupa orang-orang sekitar menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga dikucilkan, dilarang menikahi mereka, dan ancaman diceraikan.
Akibat dari pandemi Covid-19 diatas menjadi masalah jangka panjang yang berdampak secara langsung pada kesehatan mental. Hal ini juga menjadi penyebab turunnya tingkat produktifitas masyarakat selama pandemi
Masalah serius jangka panjang akibat pandemi Covid-19
Kesepian kronis yang disebabkan oleh isolasi sosial atau perasaan “kurangnya makna” dalam hidup selama pandemi, menjadi masalah utama yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19
Pasalnya, beberapa orang tiba-tiba dijauhkan dari hubungan dekat pada era social distanching. Sedangkan sebagian lainnya sengaja menarik diri dari dunia luar untuk merasakan “rasa aman” dan mungkin menjadi resisten untuk meningkatkan interaksi sosial mereka di masa depan.
“Saat orang mengalami stres di dunia luar, mereka dapat melepaskan diri dari dunia itu. Begitu mereka mengalami ketidakterikatan ini, mungkin sulit untuk kembali keluar dan bersosialisasi dengan orang lain.” kata Yuko Nippoda, psikoterapis dan juru bicara Dewan Psikoterapi Inggris.
Kecemasan umum juga merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang penting untuk diperhatikan. “Bahkan jika pandemi Covid berakhir, beberapa orang mungkin tetap cemas, karena masih ada risiko varian virus yang lain,” Kata Yuko menambahi.
Menurut hasil penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Parepare yang dituangkan dalam Jurnal Kesehatan masyarakat khatulistiwa (JKMK), Maret 2021 menunjukkan bahwa keadaan psikososial masyarakat selama masa pandemi Covid-19 58,6% menyatakan merasa cemas.
Hal ini dapat terjadi karena diberlakukannya pembatasan sosial bersakala besar. Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar berpotensi memicu terjadinya gangguan kecemasan (anxiety), depresi dan stress di masyarakat.
Faktor lain yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan kecemasan adalah lingkungan, emosional dan faktor fisik. Selain itu penyebaran informasi yang tidak benar juga dapat memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat. Tidak sedikit informasi yang salah tentang Covid-19 tersebar luas di media sosial, sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat termasuk kecemasan dan depresi.
Situasi semacam ini sangat menantang bagi mereka yang tidak pandai menghadapi ketidakpastian atau bagi mereka yang kesulitan menangani situasi yang tidak dapat mereka kendalikan.
Oleh karenanya, peran orang-orang terdekat sangat ditunggu untuk menyelesaikan persoalan kesehatan mental yang sedang dialami korban. Pemberian dukungan bisa dalam bentuk mendengarkan keluh kesah penderita serta memberikan tambahan energi tersendiri bagi penderita.
Penulis: Himma Wafiyatul Muflichah
Editor: Khasan Sumarhadi
Leave a Review