Menguak Cerita Dibalik Desa Kaliputu

Sejarah Desa Kaliputu, Jenang, dan Tebokan [Doc. Lesbumi TV Eps 7]

Sejarah adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan kita, apalagi dalam masyarakat Jawa yang kental akan keyakinan bahwa ucapan orang terdahulu akan menjadi kenyataan di kehidupan mendatang. Sejarah yang kini diyakini sebagai asal mula sebuah daerah menjadi ciri khasnya. Cerita yang turun-temurun dari sesepuh hingga saat ini masih bisa kita dengar dan kita lestarikan.

Jenang dan Masyarakat Kaliputu

Diceritakan dari seorang sejarawan sekaligus salah satu pengrajin jenang di Desa Kaliputu Ali Marzuki bahwa pada zaman dahulu ada seorang cucu dari cikal bakal Desa Kaliputu. Selain itu ada juga sosok Mbah Dipok Sopoyono. Dalam cerita sang cucu tersebut dikabarkan tenggelam di Sungai Kali Gelis, nama salah satu sungai di Kudus.

Setelah ditemukannya sang cucu tadi, dia dinyatakan meninggal. Akan tetapi di waktu yang bersamaan ada dua orang wali yakni, Sunan Kudus dan Raden Syaridin. Sunan Kudus menyatakan bahwa anak itu telah meninggal dunia, berbeda dengan raden Syaridin yang menganggap dia masih hidup.

Beberapa kali berdebat, akhirnya Raden Syaridin menyarankan untuk membuatkan Bubur Gamping untuk Si Cucu. Bubur Gamping adalah olahan makanan berbahan dasar beras dengan sedikit tambahan garam. Setelah Si Cucu diberi makan bubur tersebut, ia terbangun.

Dengan adanya peristiwa ini, Sunan Kudus berkata “Rejaning Jaman Wong Kaliputu iki Pangukojiwane Soko Bubur” dan hal ini diyakini hingga sekarang yang menjadikan jenang sebagai mata pencaharian warga kaliputu.

Perkembangan Jenang dari Masa ke Masa

Usaha bubur di Kaliputu bermulai sekitar tahun 1800 akhir, dimulai adaanya seorang pengusaha bubur bernama Mbah Haji Abdullah, beliau berjualan bubur di Pasar Kliwon, salah satu pasar tradisional di Kabupaten Kudus. Beliau dalam berjualan sudah memberi nama merk dan sudah dibungkus walaupun menggunakan daun pisang, inilah yang menjadi keunikan jenang kala itu.

Lalu, pada masa penjajahan muncul inovasi baru yaitu pembuatan jenang dengan berbahan dasar ketela pohon yang dikeringkan. Bermula dengan adanya tradisi masyarakat kaliputu yang kental, yakni dalam menyelenggarakan acara pernikahan, dimana sesama calon pengantin saling memberikan buah tangan salah satunya adalah jenang.

Sedangkan pada saat penjajahan, rakyat tidak diperbolehkan memakan makanan yang berbahan dasar beras. Akhirnya munculah inovasi pembuatan jenang dari ketela atau biasa disebut Jenang Gaplek.

Adapun istilah jenang, dipelopori oleh Suradi dengan usaha Jenang Sinar Bulan sekitar tahun 1990 an, berbeda dengan sebelumnya, bubur atau jenang yang dipelopori oleh Suradi ini berbahan dasar Tepung ketan, santan dan ditambah gula merah.

Perbedaan antara Bubur Gamping dan Jenang terletak pada bahan dasarnya, Bubur Gamping berbahan dasar beras, sedangkan Jenang berbahan dasar ketan. Juga pada teksturnya bubur lebih encer dan jenang lebih padat.

Seiring berkembangnya jaman kemasan yang digunakan juga mengalami kemajuan mulai dari Daun Pisang, Kebo (anyaman dari Daun Lontar/Daun Siwalan yang dibentuk seperti dompet), Tebok (tampah dari bambu), kertas (jenang prapatan),  dan plastik (jenang glintir/jenang lilin). Kesimpulannya Bubur Gamping adalah pelopor terbuatnya jenang seperti yang kita ketahui saat ini.

Tradisi Tebokan

Tebokan, sebuah ciri khas yang menjadi nilai lebih sejarah jenang di Kaliputu. Dimulai tahun 2006, tradisi tebokan dimulai. Berawal dari inisiatif untuk peringatan tahun baru islam, sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT.

Dibentuklah sebuah kirab menuju masjid, yang diikuti oleh anak-anak yang belajar mengaji pada salah satu pengrajin jennag Ibu Maslihah, dengan membawa jenang dan jajan pasar lain dengan menggunakan tampah dan diletakkan di kepala. Seiring berjalannya waktu dimana peserta yang mengikuti kirab ini semakin banyak, terjadi perpindahan tempat yang awalnya di masjid menjadi di balai desa. Selain itu, pernah menjalin kerja sama dengan pengusaha jenang di kaliputu hingga dinas pariwisata pada tahun 2010.

Pembentukan awal tradisi ini tidak terlepas dari pro dan kontra masyarakat sekitar. Dimana mereka menyakini pada tahun baru islam merupakan bulan yang suci atau sakral, sehingga meeka menyakini bahwa tidak baik jika mengadakan sesuatu yang bersifat hura-hura. Dan tidak sedikit dari sesama pengusaha yang muncul rasa tidak suka dengan pengusaha yang ikut mempelopori tradisi ini.

Harapan Sejarawan 

Untuk generasi kedepan, jenang bisa menjadi makanan yang bisa mendunia, agar sejarah ini bisa dikenal dan juga bisa dipasarkan kepada masyarakat, bukan hanya di nusantara namun bisa ke luar negeri juga. Memang makanan yang berbahan dasar seperti jenang ini banyak di daerah mana saja, akan tetapi yang membedakan adalah sejarah yang menjadi kisah menarik dari olahan jenang daerah lain.

Narasi oleh : Izza (Koresponden PAC Mejobo)

Sumber : YouTube Lesbumi TV