Komentar Gus Yusuf Tentang Penyebutan Kafir Terhadap Non Muslim

Di tengah peringatan harlah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) ke-65 dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) ke-64 pada sabtu malam (16/03) di Gedung Olahraga (GOR) Indoor Trisanja, Slawi, Kabupaten Tegal. KH. Yusuf Chudlori memberikan komentar terkait tanggapan orang-orang yang nyinyir terhadap fatwa Munas Alim Ulama NU, yaitu fatwa tentang larangan penyebutan kafir kepada warga negara Indonesia yang non muslim.

Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat pada tanggal 27 Februari hingga 1 Maret 2019 menghasilkan lima fatwa rekomendasi, dan salah satu fatwa yang paling ramai diperbincangkan netizen di media sosial adalah fatwa tentang larangan penyebutan kafir terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang non muslim.

Ia mengatakan bahwa fatwa itu tengah digoreng oleh wong-wongan (orang-orangan) Islam yang radikal. Ketika NU mengeluarkan fatwa tersebut, mereka marah-marah, menghujat, dan mencaci maki Kiai NU. Mereka menuduh NU telah mengamandemen Al Qur’an, dan NU telah merusak Al Qur’an. Mereka juga mencoba menyangkal fatwa tersebut dengan menafsiri kata kafir, tapi penafsiran yang mereka utarakan tidak sesuai dengan kaidah shorof, dan terkesan ngawur.

Gus Yusuf pun menanggapi komentar nyinyir tersebut, Ia mengatakan bahwa merekalah sebenarnya yang tidak bisa memahami secara utuh fatwa yang telah dikeluarkan oleh Kiai NU.

“Betul, orang yang tidak beriman disebut di dalam Al-Qur’an itu kafir. Tapi ini ruang kita kepada Allah, hablun min Allah. Tidak boleh dibawa ke ruang publik, hablun min al-nas” Tuturnya.

Ia menjelaskan kalau orang yang tidak beriman kepada Allah memang orang kafir. Tapi penyebutan kafir kepada warga negara non muslim di Indonesia dalam urusan sosial dan kemasyarakatan itu sangat tidak relevan, dan tidak layak. Karena menurutnya Indonesia adalah negara hukum, Indonesia punya warga negara yang multikultural, kita hidup berdampingan dengan warga negara yang mempunyai suku, ras, dan agama yang berbeda.

Negara menganggap semua warga negara sama, semua agama sama, dan semua warga negara diikat oleh hukum yang sama. Maka ketika kita berbicara tentang kemasyarakatan, jangan menyebut kafir. Jangan menyinggung perasaannya, kita harus menjaga persatuan demi mempertahankan NKRI.

Gus yusuf pun menambahkan perumpamaan demikian “Jika di Al Qur’an menyebut orang yang tidak beriman kepada Allah sebagai kafir. Di dalam kitab Injilnya orang Kristen juga sama, menyebut orang yang tidak beriman kepada Yesus sebagai domba yang tersesat. Bagaimana perasaan kita sebagai orang Islam bila dipanggil oleh orang non muslim dengan sebutan domba? Pasti kita akan marah, sakit hati, dan merasa tersinggung. Begitu pula sebaliknya, ketika kita memanggil dan menyebut orang non muslim sebagai kafir, mereka pasti sakit hati dan merasa tersinggung” Tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa di NU kita diajarkan tentang hubbul wathan min al-iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kiai NU berpesan kepada kita bahwa orang beriman tapi tidak cinta tanah air, maka imannya tidak sempurna. Indonesia bukan negara Islam, tapi hampir semua syari’at Islam berjalan dengan lancar dan aman, tanpa ada rasa takut dari ancaman. “Seharusnya kita bersyukur menjadi bagian dari Bangsa Indonesia” Pungkasnya. (AS/AMF)